Adalah Yakobus F. Dumupa, seorang mahasiswa di Yogyakarta yang selama ini berbicara keras menentang rencana pemekaran provinsi IJT. Ketua Papua Study Center ini menegaskan, pihak yang memperjuangkan pemekaran provinsi IJT sebaiknya jangan memaksakan kehendaknya. Sebaiknya dihentikan saja. Mengapa? Adakah pendapat lain tentang format pembangunan daerah ini ke depan?
Yakobus yang rajin menulis artikel di berbagai surat kabar harian (termasuk Papuapos Nabire), website maupun media kampus serta penulis buku �Berburu Keadilan di Papua; Mengungkap Dosa-dosa Politik Indonesia di Papua Barat� ini menjawab sejumlah pertanyaan yang diajukan Markus Amoye You dari Papuapos Nabire, kemarin. Berikut petikan wawancara tersebut.
Beberapa hari lalu, anggota DPRD Nabire mengatakan bahwa hingga saat ini belum ada aspirasi rakyat soal IJT yang masuk ke meja dewan?
Kalau buktinya sudah begitu, kenapa masih mau paksakan kehendak rakyat menerima aspirasi pejabat dan segelintir intelektual yang saat ini berjuang agar segera memekarkan provinsi IJT? Ini sangat lucu sekali, karena biasanya sebuah aspirasi itu datang dari rakyat, tetapi yang terjadi di Nabire ini justru oleh pejabat daerah. Ada apa dibalik ini semua?
Ada anggota dewan lain juga meminta segera hentikan wacana IJT. Menurut Anda?
Saya sependapat dengan pernyataan yang telah dikemukakan oleh beberapa anggota DPRD Nabire. Kita harus ketahui bahwa pemekaran provinsi IJT itu bukan aspirasi masyarakat, terutama yang ada di wilayah Papua Tengah. Sekali saya tekankah bahwa pemekaran itu bentuk hegemoni negara untuk tetap mempertahankan Papua sebagai wilayah negara. Ini berangkat dari ketakutan Indonesia terhadap aspirasi Papua Merdeka yang mulai menggema pasca Reformasi di Indonesia.
Bukan hanya pejabat daerah saja, tetapi perjuangan pemekaran IJT juga didukung oleh beberapa �intelektual�. Bagaimana kedepan?
Saya sudah mendengar hal itu, kaum intelektual itu merasa mendapat �angin segar� untuk ikut perjuangkan IJT. Kita ketahui bahwa sebelumnya mereka itu juga yang perjuangan kabupaten Deiyai, tetapi karena gagal dan kalau tidak salah mereka sudah tidak ada kepercayaan dari masyarakat. Sebenarnya pekerjaan kaum intelektual itu dari tataran demokrasi dan HAM ibarat menjaring angin, pekerjaan sia-sia saja. Saya tahu persis siapa mereka. Bagi saya, mereka adalah sekelompok intelektual ambisius yang sama sekali tidak pernah perduli dengan aspirasi masyarakat, karena yang ada dibenak mereka adalah jabatan dan uang. Selain itu, jika pemekaran IJT gagal, mereka pasti akan mencari �ladang� lain untuk kepentingan perutnya.
Bagaimana pendapat Anda terhadap kampanye di media massa ?
Perjuangan memekarkan IJT memang ramai diberitakan koran. Menurut saya, kampanye di media massa itu wajar saja, tetapi yang disayangkan adalah ketika saya membaca beberapa berita yang perlu dipertanyakan. Misalnya dikatakan bahwa semua Bupati di wilayah Tengah telah menyatakan mendukung. Apakah benar? Itu hasil konfirmasi atau opini bohong saja. Sementara dalam wacana di media massa itu, warga tidak pernah dilibatkan untuk berbicara.
Perlu dipahami bahwa media massa adalah alat kontrol sosial, bukan alat rekayasa sosial. Karena itu, pemberitaan media massa harus obyektif dan independen. Ketika obyektifitas dan independensitas media massa hilang, maka itu bukan namanya media massa lagi, tetapi media rekayasa. Ketika suara masyarakat tidak terliput oleh media massa, maka itu yang patut disayangkan, sebab suara masyarakatlah yang mesti muncul dalam wacana pemekaran IJT.
Mengapa Anda katakan demikian?
Sudah terbukti ketika ada wartawan yang turut memperjuangkan pemekaran provinsi, tentunya melalui berita-berita. Disini mempertaruhkan profesinya (wartawan, Red) demi kepentingan yang dikejarnya. Padahal kehadiran wartawan dengan media itu untuk memperjelas sebuah soal, bukan justru ikut memperkeruh hanya karena kepentingan tertentu, misalnya kejar mege (uang) dan tujuan lainnya.
Bila ada wartawan yang terlibat dalam politik praktis, misalnya dengan kampanye pemekaran IJT melalui media massa tempat wartawan tersebut bekerja, maka itu sudah jelas akan mempertaruhkan profesionalismenya. Kalau ternyata seperti itu, lebih baik menjadi politisi ketimbang jadi wartawan. Sangat ironis ketika wartawan memanipulasi berita dengan memutarbalikan fakta. Wartawan yang bertindak demikian, pasti terdorong oleh karena motivasi tertentu, misalnya untuk mengejar uang atau jabatan ataupun kepentingan lain.
Apa dasar Anda memvonis begitu?
Harian Papuapos Nabire adalah satu-satunya surat kabar harian yang terbit di Nabire. Media ini bagus, hanya belakangan dimanfaatkan dengan kampanye tentang percepatan pemekaran IJT. Ini mau jadi apa? Saya lihat ada oknum wartawan yang keberadaannya patut dipertanyakan, karena mau menulis berita bila ada tujuan yang ingin dicapainya.
Di negara ini banyak terjadi kebohongan, apalagi seperti di Papua yang mempunyai sensitifitas tinggi bagi berbagai manipulasi kebijakan politik Indonesia. Banyak wartawan yang selalu mengejar keuntungan dari manipulasi berita yang dipublikasikannya. Jadi wartawan dapat untung dan nara-sumber yang diliput pun untung, ini semacam simbose-mutualisma dalam berpolitik.
Terlepas dari itu, kita bicara soal dasar hukumnya dikaitkan dengan situasi sekarang ketika Otsus diterapkan di Papua. Apakah sudah waktunya dan memang perlu pemekaran, termasuk IJT?
Dari dasar hukum Pemekaran Propinsi IJT sangat cacat, karena UU Nomor 45 Tahun 1999 telah �kadaluwarsa� dengan lahirnya UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Ini sesuai dengan dua prinsip hukum, yaitu UU yang baru (UU No. 21 Tahun 2001) mengalahkan UU yang lama (UU No. 45 Tahun 1999) dan UU yang lebih khusus (UU No. 21 Tahun 2001) mengalahkan UU yang lebih umum (UU No. 21 tahun 2001). Sementara lahirnya Inpres Nomor 1 Tahun 2003 yang memberlakukan kembali UU Nomor 45 Tahun 1999 juga cacat hukum, karena dalam struktur hukum Indonesia, keberadaan Inpres sebagai aturan pemerintahan telah dicabut oleh MPR pada Sidang Paripurna tahun 2002.
Sedangkan dari sisi waktu saat ini, saya pikir dilematis juga. Memang benar UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus mengatur pemekaran, tapi saya rasa lebih baik IJT tidak perlu dimekarkan. Perlu diingat bahwa pusat realisasi kebijakan Otsus itu ada di kabupaten, bukan di provinsi. Jadi, sebaliknya kabupaten itu yang berperan aktif dalam pembangunan masyarakat, bukan ribut-ribut memperjuangkan pemekaran provinsi baru.
Tadi Anda katakan bahwa pusat realisasi kebijakan Otsus itu ada di kabupaten, bukan di provinsi. Maksudnya?
Seperti yang ditegaskan oleh beberapa anggota DPRD Nabire hari Jumat kemarin, maka sebaiknya stop bermimpi IJT karena dasarnya tidak ada. Sebaliknya, kabupaten yang sudah ada ini harus dimaksimalkan, karena saat ini masyarakat minta pembangunan bukan pemekaran. Memang benar, DPRD Nabire telah memahami esensi penerapan Otonomi Khusus. Provinsi itu khan hanya sebatas pengawas pembangunan dalam Otsus, bukan pelaksana. Jadi rasanya lucu juga kalau ada wacana pembangunan dalam pemekaran IJT karena pembangunan konkritnya ada di tingkat kabupaten, bukan di provinsi. Nah, ini rupanya kelihatan kedok asli dari para pejuang pemekaran provinsi IJT.
Kalau dimekarkan, Nabire diusulkan menjadi ibukota IJT?
Kesiapannya sejauhmana? Saya kira benar bahwa Merauke yang sudah maju dua langkah saja tidak minta provinsi. Kenekatan minta Nabire jadi ibukota itu satu paket dengan ambisinya terhadap pemekaran provinsi IJT. Barangkali ada pemikiran bahwa Timika telah gagal jadi ibukota, sehingga mesti dipindahkan ke Nabire. Kalaupun jadi dimekar, Nabire tidak layak. Alasannya, karena tidak punya kesiapan wilayah yang baik, lagian penetapan ibukota provinsi IJT di Nabire juga bisa berseberangan dengan UU Nomor 45 Tahun 1999 yang diklaimnya sebagai �payung hukum� walaupun sudah tidak punya kekuatan hukum lagi.
Tujuannya untuk mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal, sekaligus mengoptimalkan Sumber Daya Alam (SDA) yang berlimpah-ruah di wilayah ini?
Bila dikatakan perjuangan pemekaran provinsi IJT itu untuk masa depan anak-cucu dan meningkatkan SDM di Nabire, maka itu bukan alasan mendasar. Sebaliknya, itu justru membeberkan kegagalan Bupati Nabire selama dua kali menjabat sebagai bupati. Bapak A.P. Youw dalam hal ini sudah keliru. Ada dua alasan. Pertama, pemekaran provinsi di Irian Jaya diberikan oleh Indonesia untuk orang Papua, bukan karena kasihan terhadap orang Papua dengan SDM dan pembangunannya, tetapi itu murni kepentingan atas wilayah Papua, karena itu tidak ada esensi pembangunan, kesejahteraan, SDM dan sebagainya di dalamnya. Kedua, Bupati Nabire tidak pernah mempersiapkan SDM yang cukup bagi Nabire selama dua kali masa jabatannya, kita melihat selama ini dia hanya membesarkan �Dinasti Youw� ibarat perilaku raja-raja Jawa kuno, jadi wajar saja tidak ada SDM yang matang dan siap pakai. Ini namanya bunuh diri, dan tentu akan menjadi kecelakan sejarah bagi orang Papua di masa mendatang.
Reaksi mahasiswa asal Nabire dan umumnya Papua Tengah di Jawa terhadap wacana IJT?
Di Jawa sini hanya sebatas main kucing-kucingan. Setahu saya memang ada beberapa mahasiswa yang pro-pemekaran IJT, tetapi mereka masih diam-diam karena memang tidak punya kemampuan yang cukup untuk bercatur dalam permainan politik semacam ini, walaupun sudah dipercayakan untuk sosialisasi ke tingkat mahasiswa untuk mencapai tujuannya.
Wacana paling laku di Jawa belakangan ini adalah masalah Papua Merdeka, sehingga kelompok pro-pemekaran merasa terpojok. Tapi ada keluhan dari beberapa mahasiswa yang kontra pemekaran, sebab ada semacam tekanan batin atau teror yang dilancarkan oleh kubu pro-pemekaran selama beberapa hari terakhir ini. (you)