Selayang Pandang
Erangan kesakitan di tanah Papua Barat tidak pernah disuarakan oleh para korban yang paling menderita dan sengsara. Selama bertahun-tahun mereka terdiam membisu. Di mana pun hak asasi manusia tekah diinjak-injak secara kejam, di sanalah kebisuhan dan kepasifan merajalela tidak meninggalkan jejak dalam sejarah, karena sejarah hanya mencacat perkataan dan perbuatan mereka yang mampu meskipun hanya sekelumit mengatur nasib mereka sendiri, atau paling tidak mencoba berbuat demikian.
Masih sangat banyak dan kini pun demikian sedang terjadi pria, wanita, anak-anak dan orang dewasa yang sebagai akibat teror, kemiskinan, pembunuhan, kebohongan serta kejahatan lainnya telah dipaksa melupakan martabat yang sebetulnya tidak dapat dipisakan dari diri mereka, atau dibuat untuk melepaskan usaha-usaha untuk menjamin pengakuan terhadap martabat itu oleh yang lain. Mereka membisu. Kebanyakan korban yang mengeluh dam didengarkan suaranya adalah yang bernasib baik dan beruntung, sebab memang tidak mudah menegakkan Hak Asasi Manusia ketika dijadikan mainan anak-anak.
Setiap orang Papua Barat – termasuk saya – pasti sangat berbangga ketika semua pikiran, perasaan dan tindakan kita dikaitkan dengan tanah Papua Barat itu. Batapi tidak, sebab di negeri yang banyak mendadat julukan manis ini tersedia beragam fauna, flora dan mineral. Sungai-sungai mengalirkan emas dari perut bumi hingga ke permukaan bahkan sampai ke samudera lepas, lembah-lembah bertaburan minyak bumi, hutan menjadi indah – bahkan bisa dijuluki taman bidadari – karena indahnya pepohonan dan bunga semerbak harumnya, lautan dan danau menyimpan berbagai jenis binatang air dari yang pernah diketahui dalam sejarah hingga binatang yang masih misterius dan berbagai “sweet memory” lainnya yang akan kita bawah pulang ketika kita akan menutup hidup kita masing-masing sambil berkata “West Papua My Love”.
Kita semua tentu berbangga atas semuanya – saya juga senang – sebagai insan negeri belantara. Namun, pertanyaannya adalah : Apakah Papua Barat masih seperti yang duluh? Apakah burung masih berkicau memuji pencipta-Nya? Apakah anak negeri masih berlari ke sana-kemari sambil menikmati manisnya madu belantara? Apakah gadis-gadis manis bersiap-siap menanti mempelai laki-lakinya dengan status “gadis”? Ingat orang selalu berkata bahwa “Sebuah Renungan Menuntut Jawaban”. Kini kita dalam proses perenungan dan perjuangan – sambil menyelam minum air – demi “sesuatu” yang kita nantikan. Tapi satu hal penting yaitu “Papua Barat Bukan Seperti Yang Duluh”.
Tidak Luput Dari Kejahatan Negara
Kejahatan apa yang tidak pernah terjadi di Tanah Papua Barat? Semua orang baik yang sudah mati karena dibunuh, diculik, dibuang, dibakar, diperkosa, dianiaya, diasingkan dan dipenjarakan serta semua orang Papua Barat yang masih hidup sekarang di Papua, di rantauan, di hutan dan di pengasingan bahkan yang akan lahir dalam waktu-waktu mendatang, dengan sepakat dan tegas mengatakan bahwa “Semua Kejahatan Kemanusiaan Pernah, Sedang dan Akan Terjadi di Papua Barat” ketika bangsa Indonesia – yang katanya bangsa beradab – ini masih berkuasa di Papua Barat.
Kata orang sejarah adalah guru yang baik, maka rakyat Papua Barat sudah punya cukup bukti dalam sejarah bahwa “Indonesia pernah, sedang dan akan menerapkan semua bentuk kejahatan di Tanah Papua Barat”. Sejarah telah mencatat bahwa ketika bangsa Indonesia berada di Papua Barat dia bukan lagi “bangsa beradab” tetapi dia adalah “bangsa biadab”. Titik !! Segalah bentuk kejahatan telah dia (Indonesia) lalukan di Papua Barat, mulai dari kejahatan yang halus (main halus) hingga kejahatan yang kasar/keras (main kasar). Dalam melakukan semuanya ini dia selalu berada dalam posisi yang benar, seakan-akan tidak ada kata “haram” dalam lembaran kamus penyelengggaraan Negara yang dia “agung-agungkan” sebagai Negara hukum dan demoktrat ini.
Ketika kita – orang Papua Barat sejati dan para aktor peduli HAM – menggungkit-ungkit masalah kejahatam Negara Indonesia di Papua Barat, maka bukan suatu keanehan jika ratapan tangis menghiasi panorama hidup ini. Hal ini disebabkan karena di depan pandangan kita ribuan tengkorak manusia bertebaran, ratusan gadis meratap hilangnya keperawanan di tangan militer, ibu-ubu telah menjadi janda kehilangan suami buah hatinya, anak-anak terjatuh memikul batu kilangan sang diktator, sungai-sungai bening yang membela kesunyian negeri telah berubah mengalirkan darah ibu kandung, kilauan-kilauan emas di bukit-bukit tidak memancarkan cahanya seakan kemegahaannya telah pudar di telan bumi dan burung-burung elok di hutan belantara berhenti bernyanyi seakan-akan negeri ini tidak berpenghuni. Jika demikian apa yang tersisa dan menjadi kenangan atau bingkisan kita akan anak cucu kita nanti? Kalau bukan “luka hati” apalagi.
Dalam Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan (Declaration of Basic Principles of Justive for Victim of Crime and Abuse of Power) paragraph 1 dan 2 menjelasakan arti kata “korban kejahatan” kemanusiaan. Bunyinya demikian “Korban bebarti orang yang seara perorangan atau kelompok menderita kerugiaan, termasuk secara fisik atau mental, penderitaan emosional, kerugiaan ekonomi atau perampasan nyata terhadap hak dasar mereka” selanjutnya berbunyi demikian “…istilah korban juga termasuk – sejauh dipandang tepat – keluarga langsung atau orang yang secar langsung berada di bawah tanggungan para korban dan orang-orang yang telah mengalami penderitaan dalam membantu para korban yang sengsara atau dalam mencegah orang-orang agar tidak menjadi korban…”.
Melihat definisi kata korban kejahatan di atas ini, maka dalam kasus Papua Barat orang yang menjadi korban adalah semua orang Papua Barat tanpa kecuali dan orang luar Papua Barat yang selama ini sangat peduli dengan kejahatan di Papua Barat. Orang-orang Papua Barat yang sudah, sedang dan akan berpesta pora, yang tersenyum dengan uang darah, para pelajar/mahasiswa yang sedang keenakan dengan jerih paya orang tua – termasuk saya – di pulau Jawa dan daerah lain, para pengungsi di negeri asing, para pejuang sejati di rimba raya, para pembelah hak-hak dasar orang Papua Barat dan kita semuannya adalah “Korban” kejahatan Negara Indonesia. Jadi kesimpulannya jangan kita mengartikan kata korban secara sempit dan radikal, hal ini sangat penting karea selama ini di benak hati kecil kita dan dalam rekaman otak, kita selalu berpikir dan berkata bahwa yang menjadi korban kejahatan Indonesia adalah mereka yang dibunuh, diperkosa, diteror, diintimidasi, dipenjarakan dan tindakan lainnya yang pada hakekatnya menghancurkan hak dasar manusia. Padahal saya, ko, dia, dorang dan kitong semua adalah korban nihhh..
Jenis-Jenis Kejahatan
Terdapat tiga kata yang sangat sulit diungkapkan oleh bangsa-negara Indonesia kepada seluruh rakyat Papua Barat hingga kini yaitu kata “Kami Telah Bersalah”. Hal ini kita harus akui bersama sebab kenyataan tidak akan dibungkam oleh kekuatan apapun dan dengan cara apapun. Namun, di balik semunya ini rintihan penderitaan rakyat Papua Barat seakan-akan menjadi semangat baru dalam mengulangi kejahatannya lagi dengan kekuatan militer yang dibekking oleh Negara. Jika atas nama Negara maka semuanya adalah halal.
Kejahatan Kasar (Keras)
Bukan suatu hal baru dan keanehan – jangan heran – jika orang sekarang mengatakan banhwa jumlah korban yang mati dibunuh oleh Indonesia sejak Papua Barat “dicuri” (aneksasi) hingga saat ini berjumlah 100 ribu orang menurut Amnesti Internasional dan menurut sumber lain berjumlah 600 ribu orang. Secara pribadi saya selalu berpendapat bahwa banyaknya orang Papua Barat yang dibunuh menjadi mangsa Indonesia adalah lebih dari 100 ribu atau 600 ribu orang. Mengapa? Kemungkinan besar bahkan memang benar bahwa orang Papua Barat yang dibunuh adalah lebih dari 100 ribu atau 600 ribu orang karena jumlah ini merupakan jumlah yang pernah dihitung karena memang ketahuan atau yang pernah didatakan. Tetapi kita jangan salah pikir bahwa selain yang berhasil dihitung, terdapat juga ratusan bahkan ribuan orang Papua Barat yang diculik, dibunuh dan di buang ke sungai, laut, jurang, hutan, lembah, dibakar hingga dikubur tanpa bekas yang belum kita ketahui. Jika tanah Papua Barat bisa bersuara dia akan bersaksi “di sinilah anakku dikubur atau dibuang”. Jadi yang jelas korban pembunuhan di Papua Barat hingga kini lebih dari 100 ribu atau 600 ribu orang.
Secara periodic sesungguhnya pemnbunuhan di Papua Barat sudah terjadi sejak lama, namun saat itu militer adalah “yang terhormat” sehingga tidak ada orang yang peduli dengan pembunuhan. Pembunuhan rakyat Papua Barat dilatar belakangi oleh adanya anggapan Indonesia akan “separatisme” secara nyata. Separatisme adalah alasan demi meng-legal-kan pembunuhan dan pembasmian, padahal sesungguhnya di balik alasan “separatisme” masih terkandung maksud dan bahkan “tujuan” Negara yang sesungguhnya yaitu “Upaya Pembasmian Etnis Papua Barat”. Mengapa hal ini bisa terjadi? Ingat satu hal yaitu orang Indonesia mencuri Indonesia bukan karena manusianya tapi karena tanahnya (kekayaannya).
Menguraikan semua pembunuhan di Papua Barat oleh Indonesia – bangsa biadab – sangatlah tidak cukup dalam tulisan singkat ini karena jumlahnya yang sangat banyak. Yang jelasnya bahwa ketika rakyat sipil Papua Barat dicap “kaum separatis”, maka di sanalah dentuman senjata silih berganti mencabut nyawa manusia kesayangan pencipta-Nya. Sekujur tubuh manusia tak berdosa itu berlumuran darah, tak satupun bagian tubuhnya luput dari tendangan sepatu lars dan hantaman pantat senjata. Bukanlah hal yang asing bagi rakyat Papua Barat ketika gadis-gadis diperkosa secara bergantian oleh beberapa anggota militer di tempat operasi (OPP=Operasi Gadis Papua), yang belakangan diketahui gadis-gadis itu mangandung dan melahirkan anak haram “Sang Amber”. Para kepala suku dipukul, dianiaya bahkan jantungnya dicopot lalu dipanggang seperti sate kemudian diberikan kepada keluarga dan masyarakatnya untuk dimakan. Jangan heran ketika sering terjadi sebuah pasangan suami-istri di bawah ke tengah lapangan dan disuruh berhubungan badan di depan seluruh warga kampung, bukan itu saja selajutnya jika melawan atau tidak melawan tentara akan memotong alat kemaluan suami lalu diberikan kepada istrinya untuk dimakan dan sebaliknya alat kemaluan istri dipotong untuk diberi makan kepada suaminya. Sejarah juga pernah mencatat ketika orang Papua Barat dibunuh, darahnya diberikan kepada orang yang menyaksikan pembunuhan itu untuk diminum. Bukan hanya itu saja, sudah menjadi kebiasan militer Indonesia memanaskan besi lalu dimasukan ke dalam dubur seseorang hingga tembus ke kepala. Pernah juga terjadi sungai Baliem di Wamena airnya berubah warna menjadi merah oleh darah manusia, pada saat itu selama dua minggu rakyat tidak minum air dan mencari ikan. Yang jelasnya rakyat Papua Barat tidak pernah luput dari siksaan fisik di tubuh mereka hingga kematiannnya.
Selain siksaan yang langsung dirasakan pada diri (tubuh) mereka, juga terdapat pelanggaran HAM dalam bentuk lainnya secara terang-terangan oleh Indonesia. Pembakaran kampung di daerah operasi adalah suatu hal biasa. Kita lihat kasus yang mengegerkan dunia “Operasi Mapenduma”. Dalam operasi ini terjadi pembakaran kampung secara “gila-gilaan”. Beratus rumah penduduk lenyap ditelan api si jago merah, gereja-gereja tidak luput dari “gilanya” militer Indonesia, rumah sakit dan sekolah luluh berantakan. Tidak ada kata lain bagi para penduduk selain kata “lari ke hutan”. Di hutan apa yang terjadi? Di hutan para pengungsi si sambut hangat oleh “ratapan dan kertakan gigi”. Di hutan inilah sebagian besar dari penduduk yang mengungi di tanah airnya sendiri ini mati secara beramai-ramai, mereka diserang wabah penyakit dan kelaparan yang tiada hentinya. Di sini mereka tidak berbuat apa-apa, jika berani keluar dan berani menampakkan batang hidung, maka dentuman “mesin pembasmi manusia” telah siap-siaga menjemput mereka dengan bunyi “dumm” artinya “selamat jalan manusia kera”. Hal semacam ini bukan hanya terjadi dalam “peristiwa Mapenduma” tetapi sudah biasa terajadi di daerah Papua Barat lainnya. Yang jelas “kampung hangus”, rakyat lari ke hutan dan mati di sana, hutan Papua Barat adalah saksi yang akan membisu selamanya.
Belum puas sampai di sini militer Indonesia melakukan pencurian secara membabi buta. Di daearah operasi kebun-kebun rakyat adalah tempat mencari nafkah “perampok kelas kakap”. Hasil kebun dicuri tanpa sisa, bahkan ampasnyapun dijilat. Inilah karakter bangsa-negara Indonesia yang rakus – jangan heran jika korupsi merajalela dewasa ini – sebab benih-benih perampokan sudah tertaman dari dalam dirinya sajak dahuluh kala. Bukan hanya hasil kebun, hewan peliharapun menjadi target pencurian militer Indonesia. Para militer yang muslim – mungkin katanya taat agama – tetapi ketika dihadapkan pada hewan peliharaan (babi) yang katanya haram, ketaatan akan agamanya hilang dalam kerakusan sehingga daging babipun dilahapnya dengan rakus. Ini berarti tiada militer yang taat agama di negeri Indonesia ini, mereka rupanya para pemeluk agama karbitan (maaf jika ada pembaca muslim yang tersinggung).
Uraian singkat di atas ini hanya sangat sedikit dari yang sangat banyak yang dikemukakan. Namun, yang menjadi catatan penting yaitu selain uraian pelanggaran HAM secara kasar (nyata) ini masih ada cara kasar (terang-terangan) lainnya seperti teror, intimidasi, pengejaran, penganiayaan, pemenjarahan dan kejahatannya lainnya yang mengakibatkan “Papua Barat selalu berduka”.
Kejahatan Halus (Terselubung)
Belakangan ini kita dikagetkan dengan beberapa kasus di Papua Barat. Data terakhir dari ASA (Aksi Stop Aids) Jakarta dan Dinas Kesehatan Papua menyebutkan banhwa sudah terdapa 1263 kasus HIV/AIDS di Papua Barat. Kita juga kaget dengan “Kerusuhan Timika” dalam pro versus kontra pemekaran propinsi Irian Jaya Tengah yang menelan korban jiwa. Kita juga sering mendengar KKN sedang meraja lelah di Papua Barat. Para pilitisi ribut setiap hari untuk jabatan dan uang. Tempat-tempat hiburan seperti bar dan diskotik bertaburan di tengah kota bagai jamur di musim hujan, orang Papua Barat mabuk tanpa sadar hingga sering dapat pukul bahkan mati dihajar massa. Pasar-pasar di kota hinga ke pelosok tanah Papua Barat dikuasai oleh para pendatang non Papua sehingga orang Papua Barat menjadi pembeli sejati. Para pendidik di bangku pendidikan mengajar anak didiknya dengan materi pelajaran produk Jawa (contoh : Budi makan nasi, bukan Rumbewas makan sagu). Gunung-gunung menjadi gundul akibat penebangan liar dengan dasar kukum HPH yang katanya demi kesejahteraan rakyat dan kasus lainnya.
Beberapa kasus di atas – sangat sedikit dari yang sangat banyak – ini mau memberikan pelajaran kepada kita orang Papua Barat – termasuk saya – untuk sadar dan sadar. Memang kita akui sangat susah membangunn rumah yang terlanjur sudah dibongkar, memang sangat susah melepaskan “barang enak” yang sudah lama kita nikmati, tetapi kita usahan dengan sekuat tenaga untuk kembali “menjadi diri kita sendiri” seperti kata seorang pujangga Italia “Let’s back together to freedom nature”.
Dari semua kasus di atas ini memberikan gambaran kepada kita sekaligus kita menarik kesimpulan bahwa “Upaya Pembasmian Etnis” sudah sedang adan akan terjadi di Papua Barat dengan cara yang lazim disebut “main halus” oleh generasi sekarang. Pernahkah ada penyakit HIV/AIDS sejak dahulu d tanah Papua? Mabuk sampai teler hingga lupa segala-galanya adalah budaya Papua Barat? Rampas jabatan dan uang hingga “baku makan” adalah budaya Papua Barat? Saya tidak tahu jawaban saudara-saudari, tetapi saya pikir tidaklah demikian. Semua yang sudah, sedang dan akan terjadi adalah dalam upaya menghabiskan orang Papua Barat.
Kita lihat sekarang banyak lokalisasi WTS (paha putih/pramuria) bertebaran di mana-mana bahkan katanya sampai ke pelosok, contohnya adalah Tanjung Elmo/Sentani Kiri di Jayapura, Belok Kanan di Samabusa – Nabire dan di kampung-kampung di daerah Asmat serta daerah lainnya. Di sini kita dapat menilai bahwa semuanya ini adalah produk Indonesia yang didukung oleh para elit di Papua Barat (gubernur, bupati, camat dan lainya) serta di belakang layar adalah “militer” sebagai pengawal sekaligus “germo” yang tunggu hasilnya atas saham yang telah ditanamnya. Hasil dari adanya WTS (paha putih) di Papua Barat adalah penyakit HIV/AIDS bagi orang Papua Barat. Pokonya di sini kita sudah rugi berkali lipat. Kita kalau mau “main” WTS kita rugi uang, kita rugi waktu kerja, kita rugi tenaga dan yang paling repotnya lagi kita rugi nyawa karena “benih penyakit sudah masuk bersarang di dalam tubuh kita”, jadi kita tunggu saja kapan kita akan pulang ke rumah Bapa di Sorga atau rumah Lusiver di Neraka.
Konflik pro versus kontra pemekaran propinsi Irjateng adalah merupakan upaya terselubung pemerintah RI untuk menciptakan konflik horizontal di tanah Papua. Jika sampai konflik ini berkelanjutan, maka Jakarta “bertepuk tangan” Papua Barat “meratap”. Sebenarnya Papua Barat telah rugi dengan jatuhnya korban. Jangankan lima orang yang mati, putusnya ujung jari pun kita sudah rugi. Tetapi sangat aneh “Bapa-bapa” Papua. Mereka santai-santai saja, karena bagi mereka yang terpenting adalah jabatan dan uang. Dengan demikain, rupanya orang Papua Barat sedikit demi sedikit namun pasti siap “dimuseumkan” karena akan menjadi manusia langka di planet ini.
Transmigrasi sudah didrop ke Papua sejak dua dasawarsa yang lalu. Menurut beberapa informasi yang boleh dipercaya, menyebutkan bahwa para transmigrasi yang kini berada di tanah Papua Barat telah dipaksa oleh pemerintah Indonesia dari Jawa untuk pindah ke Papua Barat. Namun, hal ini benar atau tidak bukan soal yang begitu penting, yang terpenting adalah “ada apa di balik transmigrasi”. Ini upaya pelenyapan etnis Papua sekaligus merampok tanah adat sambil menggeser perekonomian masyarakat Papua Barat. Buktinya kita lihat sekarang, penjual buah-buahan dan sayuran di pasar adalah “Amber” (orang non Papua). Toko-toko bertingkat, rumah-rumah makan, mobil-mobil angkutan umum, hotel berbintang, tukang ojek dan lainnya adalah orang non Papua. Lalu orang Papua Barat mau jadi apa? Jawabannya satu dan pasti yaitu “penonton sejati” dan menangis di pangkuan ibu pertiwi hingga kembali ke perut ibu pertiwi tidak secara wajar dan manusiawi karena sedikit tapi pasti kita sedang dibunuh.
Eksploitasi sumber daya alam yang didukung oleh negara-negara Liberal dengan pengawalan militer dengan jargon politik “demi kemakmuran rakyat” merupakan juga sutu hal yang nyatanya masuk akal namun di balik layar merupakan penggeseran masyarakt lokal seakan-akan sambil berkata “go there West Papua people we like your land, but we don’t like yourssself because you are monkey”. Hal ini dapat kita cermati dalam cacatan sejarah kelabu selama ini. Peruhasaan pertambangan tembaga dan emas multinasional PT. Freeport Indonesia adalah bukti imtimidasi dan penggeseran orang Papua secara pasti. Kerusakan alam adalah hal biasa, masayarakat diusir dari perkampungannya adalah kebiasaan perusahaan raksasa ini yang setiap tahunnya di jaga oleh militer sebagai “tempat isi perut”. Hak ulayat adalah sesuatu hal yang perlu diperhatikan bahkan merupakan suatu keharusan, namun masyarakat pemilik hak ulayat diberikan haknnya hanya sebanyak 1% (satu persen). Dana inipun yang hasilnya dialihkan ke berbagai divisi (kesehatan, pendidikan, pemberdayaan masayarakat dan lainnya) tidak memberikan hasil yang siknifikan. Kita lihat para mahasiswa yang mendapat beasiswa PT.Freeport hampir setengahnya tidak dapat kuliah dengan baik, bahkan hasil yang diberikan yang katanya “gaji tanpa kerja” itu telah melahirkan mental-mental anak Papua Barat yang mengawatirkan. Dapat beasiswa mabuk teler, terima gaji bulanan tanpa kerja lupakan diri keliling kota – seakan-akan dunia ini ada di bawah telapak kakinya – hingga kuliah yang katanya tugas utama itu hanyalah wadah “menuntut hak beasiswa sebagai hak ulayat”. Hal ini tidak kita sadari tetapi hal ini juga produk Indonesia dan antek-anteknya. Beasiswa kita dapat dari dia, namun di luar sana dia sudah “pasang jurus” dengan menyediakan minuman keras sebagai tempat pelarian kita menikamati “air maut” itu. Memang Indonesia bangsa yang licik. Seakan-akan ini sebuah adegan yang asyik dimainkannya, betapa tidak uang dia kasih uang dia ambil. Lalu kita menjadi apa? Ya kalau bukan budak abadi apalagi.
PT.Freeport bukan satu-satunya, tetapi salah satu dari yang banyak “pencuri”. Hutan Papua Barat dibabat tanpa ada perasaan akan kerusakan hutan. Para aktor peduli lingkungan tidak dapat berkutik apa-apa, ketika berhadapan dengan militer sebagai “pengawal pencuri”. Bukankah budaya masyarakat Papua Barat adalah menjaga hutan sebagai tempat sacral yang harus dilestarikan? Tetapi ketika pengusaha hutan yang didukung oleh penguasa dengan memberikan HPH, maka tidak ada kata sacral yang harus dipedulikan. Yang jelas uang bung, kelestarian hutan urusan belakang mas itulah yang sedang dimainkan oleh Jakrta yang didukung oleh penguasa dan militer lokal. Hal ini menyebabkan masyarakat kehilangan tempat usaha (kebun dan meramu), kehilangan tempar berburu, tidak tersedia tempat mencari kayu bakar lagi, persediaan air bersih tidak ada. Masyarakat menuntut hak ulayat namun disikat dan dibabat habis. Kita lihat kasus “Wasior Berdarah”. Di sana masyarakat menuntut hak ulayat melalui lembaga adat, namun dijawab dengan dentuman senjata dan tendangan sepatu lars oleh militer Indonesia. Jadi kita jangan heran dengan kehadiran militer di tempat-tempat usaha dan berbagai tempat di Papua Barat karena memang “Indonesia adalah negeri yang dibangun di atas konstruksi militer”.
Kasus HIV/AIDS, kerusuhan-kerusuhan (contoh kerusuhan Timika), pendropan transmigrasi gila-gilaan, pejabat berhantam untuk jabatan dan uang, pemabuk bertebaran di mana-mana, eksploitasi sumber daya alam tanpa peduli hak ulayat, penguasaan perekonomian masyarakat lokal oleh orang non Papua dan menghasilkan mental anak muda Papua Barat yang malas adalah beberapa contoh kecil saja yang dibangun oleh Indonesia untuk membunuh orang Papua Barat secara perlahan namun pasti. Semuanya ini sedang dilakukan dengan cara “main halus” (terselubung), jadi jangan jika belakangan ini ada bebarapa pihak di Papua Barat dan dunia Internasional mengatakan Badan Intelijen Negara (BIN) sedang “main gila” di Papua Barat. BIN bermain dengan mesra dengan tujuan belakang layar “ko siap tiket suda untuk berangkat” mengikuti jejak orang tauamu dan saudaramu. Yang jelas Papua Barat sedang berjalan ke arah kuburan untuk menjadi “Pusara Tak Bernama” sesuai dengan lagu yang diciptakan oleh Sam Kapisa dan dinyanyikan oleh Group Band Black Sweet. Hati-hati ada lampu merah di sini, jangan gila duluh.
Sebuah Renungan
Siapa yang tidak bangga jika kita dipanggil “Orang Papua Barat”. Tentunya hal ini bisa disebabkan karena melihat “tanah” Papua Barat yang sering ibaratkan negeri “Surga Dunia”. Kita semua bangga dan lebih bangga lagi jika disebut anak negeri “Surga Dunia” Papua Barat. Burung berkicau memecah lamunan negeri di pagi cerah, tumbuhan melambaikan daunnya ditiup angin sepoi-sepoi, bukti emas dan gunung tembaga memancarkan cahaya kemegahannya diterpa cahaya mentari pagi, ikan di lautan bermain ombak dan gelombang pagi dalam keasyikannya yang tiada duanya, mentari bersinar cerah mengajak anak negeri untuk menikmati indahnya ibu pertiwi, hujan bertaburan di belantara negeri memberi minum isi negeri, anak-anak negeri berlari-lari girang menuju belantara mencari madu rimba, ibu-ibu duduk di perapian dengan senyumnya yang khas dan polos, tua-tua adat di rumah adat hanyut dalam tertawa akan enaknya hidup dan masa depan anak cucunya dan negeri Papua Barat berdiri dengan gagah dan mega menghiasi planet ini seakan-akan sambil berkata “lihatlah saya negeri penuh misteri Papua Barat”.
Memang bangga adalah bangga, senyum adalah senyum dan siapa yang tidak suka dengan hal ini. Tetapi ingat “Papua Barat Bukan Seperti Yang Duluh”. Duluh adalah duluh dan sekarang adalah sekarang kata orang. Negeri Papua Barat yang kita banggakan, kita cintai; orang Papua Barat yang bersorak ria dan tertawa lepas menghiasi panorama indah kini dalam prose perubahan. Kini ribuan mayat dan tulang-belulangan bertebaran secara liar, pusara-pusara tak bernama menghiasi negeri yang sedang dimusnahkan ini, rintihan dan ratapan tangis anak negeri bersahutan-sahutan tanpa henti, banyak ibu-ibu yang tak berdosa telah menjadi janda kehilangan suaminya, banyak anak-anak kecil menatap masa depan yang penuh suram, sungai-sungai bening mulai berubah warnah menjadi merah darah anak negeri, hutan dibabat, tanah diobrak-abrik mencari emas dan tembaga, lautan nan biru kini tercemar sampah sang penjajah dan lainnya, namun yang pasti Papua Barat dalam proses pemusnahan.
Apakah negeri “Penuh Misteri” ini tidak ada yang mendiaminya? Kepada siapa Tuhan menitipkan negeri “Jelmahan Surga” ini? Mengapa semua orang dengan tegah ingin memusnahkan “Negeri Cenderawasih” ini? Apakah tidak ada orang yang ingin membela dan membebaskan negeri “Dinosaurus Raksasa” yang sedang nengitari dunia ini? Ataukah semua anak negeri telah menjadi buta? Ataukah semua muda-mudi telah menjadi “bisu abadi”? Apakah para tulang punggung negeri harus tunduk diam membisu di bawah kelaliman dan kejahatan? Apakah orang Papua Barat – jika ada – takut mati jika berteriak membela rakyat yang polos dan papa ini? Apakah orang Papua Barat harus menjadi pengkhianat bangsa dan rakyat dengan menikmati “keenakan semu” yang diberikan oleh penjajah? Apakah orang Papua Barat ingin “dimuseumkan” karena menjadi makluk langkah dan sisa dalam sejarah kelabu manusia?
Kita harus menjadi diri kita sendiri seperti sering orang berkata “tiada kekayaan terbesar selain diri kita sendiri”. Papua adalah Papua. Marilah kita kembali menjadi diri kita sendiri. Tuhan itu adil, walau keadilan datang terlambat namun dia tidak akan hilang karena segalah-galahnya mempunyai masa dan waktunya. Ingat kata Om Moses Weror “gunung dikejar tak akan lari”. Orang tidak selamanya meratap dan menangis, suatu saat suka cita dan kebebasan akan datang. Namun, yang terpenting sekarang adalah marilah kita berasatu padu berjuang bersama dengan menjadi diri kita sendiri, tidak ada lagi kata orang pantai orang gunung, senior yunior, laki-laki perempuan, saya hebat kau bodoh. Siapapun dan bagaimanapun latarbelakang kita yang terpenting adalah kita masing adalah “modal” perjungan. Ingat dalam pribadi-pribadi yang berbeda kekayaan tiada duanya terpendam di sana. Marilah kita saling memberi dan menerima sebagai saudara sebangsa seperti dalam bahasa Biak ada istilah Fa Ido Ma, Ma Ido Fa (memberi jika menerima, menerima jika memberi) atau dalam istilah asing diidentikan dengan kata take and give.
Baiklah para pelajar jadilah pelajar yang baik dan jangan jadi pelajar karbitan dengan virus “mabuk teler”, para pejuang jadilah pejuang yang jujur dan teguh hati dan jangan jadi pejuang yang muka uang dan jabatan, para muda-mudi jangan “keenakan” dengan menghamburkan uang orang tua dengan mengukur jalan dan berpesta pora, para orang tua jadilah orang tua yang baik dan akhirnya marilah kita semua mengukir satu tekat dan ide tanpa mundur dan menyerah berjuang demi kebebasan tanah air kita Papua Barat. Ingat segalanya ada masa dan waktunya. Apakah Kemerdekaan Papua Barat ada waktunya? Tunggu saja tooo barang apa jadi, kitong pasti merdeka mooo.
Mengakhiri tulisan saya yang singkat dan simple, saya ingin mengajak para pembaca (siapa saja yang membaca) tulisan saya ini, marilah kita sama-sama dengan penuh keyakinan dan tekad yang bulat dan kokoh besama-sama berkata: “…hai tanahku Papua kau tanah lahirku, kau hendak kukasihi hingga ajalku…”.
Akhirnya kita harus ingat kembali kata Karl Popper. Ia berkata “Kebebasan masih lebih penting dari pada kebahagiaan. Kebahagiaan sangat berharga, namun kebebasan lebih berharga”.