Rabu, 25 April 2007

JACK DUMUPA: JANGAN PAKSAKAN KEHENDAK MEKARKAN IRIAN JAYA TENGAH

NABIRE � Perjuangan pemekaran Provinsi Irian Jaya Tengah (IJT) yang belakangan ini sedang ramai diwacanakan di Nabire maupun di Jayapura, mendapat tanggapan keras dari aktivis mahasiswa Papua asal Kabupaten Nabire.
Adalah Yakobus F. Dumupa, seorang mahasiswa di Yogyakarta yang selama ini berbicara keras menentang rencana pemekaran provinsi IJT. Ketua Papua Study Center ini menegaskan, pihak yang memperjuangkan pemekaran provinsi IJT sebaiknya jangan memaksakan kehendaknya. Sebaiknya dihentikan saja. Mengapa? Adakah pendapat lain tentang format pembangunan daerah ini ke depan?
Yakobus yang rajin menulis artikel di berbagai surat kabar harian (termasuk Papuapos Nabire), website maupun media kampus serta penulis buku �Berburu Keadilan di Papua; Mengungkap Dosa-dosa Politik Indonesia di Papua Barat� ini menjawab sejumlah pertanyaan yang diajukan Markus Amoye You dari Papuapos Nabire, kemarin. Berikut petikan wawancara tersebut.

Beberapa hari lalu, anggota DPRD Nabire mengatakan bahwa hingga saat ini belum ada aspirasi rakyat soal IJT yang masuk ke meja dewan?

Kalau buktinya sudah begitu, kenapa masih mau paksakan kehendak rakyat menerima aspirasi pejabat dan segelintir intelektual yang saat ini berjuang agar segera memekarkan provinsi IJT? Ini sangat lucu sekali, karena biasanya sebuah aspirasi itu datang dari rakyat, tetapi yang terjadi di Nabire ini justru oleh pejabat daerah. Ada apa dibalik ini semua?

Ada anggota dewan lain juga meminta segera hentikan wacana IJT. Menurut Anda?

Saya sependapat dengan pernyataan yang telah dikemukakan oleh beberapa anggota DPRD Nabire. Kita harus ketahui bahwa pemekaran provinsi IJT itu bukan aspirasi masyarakat, terutama yang ada di wilayah Papua Tengah. Sekali saya tekankah bahwa pemekaran itu bentuk hegemoni negara untuk tetap mempertahankan Papua sebagai wilayah negara. Ini berangkat dari ketakutan Indonesia terhadap aspirasi Papua Merdeka yang mulai menggema pasca Reformasi di Indonesia.

Bukan hanya pejabat daerah saja, tetapi perjuangan pemekaran IJT juga didukung oleh beberapa �intelektual�. Bagaimana kedepan?

Saya sudah mendengar hal itu, kaum intelektual itu merasa mendapat �angin segar� untuk ikut perjuangkan IJT. Kita ketahui bahwa sebelumnya mereka itu juga yang perjuangan kabupaten Deiyai, tetapi karena gagal dan kalau tidak salah mereka sudah tidak ada kepercayaan dari masyarakat. Sebenarnya pekerjaan kaum intelektual itu dari tataran demokrasi dan HAM ibarat menjaring angin, pekerjaan sia-sia saja. Saya tahu persis siapa mereka. Bagi saya, mereka adalah sekelompok intelektual ambisius yang sama sekali tidak pernah perduli dengan aspirasi masyarakat, karena yang ada dibenak mereka adalah jabatan dan uang. Selain itu, jika pemekaran IJT gagal, mereka pasti akan mencari �ladang� lain untuk kepentingan perutnya.

Bagaimana pendapat Anda terhadap kampanye di media massa ?

Perjuangan memekarkan IJT memang ramai diberitakan koran. Menurut saya, kampanye di media massa itu wajar saja, tetapi yang disayangkan adalah ketika saya membaca beberapa berita yang perlu dipertanyakan. Misalnya dikatakan bahwa semua Bupati di wilayah Tengah telah menyatakan mendukung. Apakah benar? Itu hasil konfirmasi atau opini bohong saja. Sementara dalam wacana di media massa itu, warga tidak pernah dilibatkan untuk berbicara.
Perlu dipahami bahwa media massa adalah alat kontrol sosial, bukan alat rekayasa sosial. Karena itu, pemberitaan media massa harus obyektif dan independen. Ketika obyektifitas dan independensitas media massa hilang, maka itu bukan namanya media massa lagi, tetapi media rekayasa. Ketika suara masyarakat tidak terliput oleh media massa, maka itu yang patut disayangkan, sebab suara masyarakatlah yang mesti muncul dalam wacana pemekaran IJT.

Mengapa Anda katakan demikian?

Sudah terbukti ketika ada wartawan yang turut memperjuangkan pemekaran provinsi, tentunya melalui berita-berita. Disini mempertaruhkan profesinya (wartawan, Red) demi kepentingan yang dikejarnya. Padahal kehadiran wartawan dengan media itu untuk memperjelas sebuah soal, bukan justru ikut memperkeruh hanya karena kepentingan tertentu, misalnya kejar mege (uang) dan tujuan lainnya.
Bila ada wartawan yang terlibat dalam politik praktis, misalnya dengan kampanye pemekaran IJT melalui media massa tempat wartawan tersebut bekerja, maka itu sudah jelas akan mempertaruhkan profesionalismenya. Kalau ternyata seperti itu, lebih baik menjadi politisi ketimbang jadi wartawan. Sangat ironis ketika wartawan memanipulasi berita dengan memutarbalikan fakta. Wartawan yang bertindak demikian, pasti terdorong oleh karena motivasi tertentu, misalnya untuk mengejar uang atau jabatan ataupun kepentingan lain.

Apa dasar Anda memvonis begitu?

Harian Papuapos Nabire adalah satu-satunya surat kabar harian yang terbit di Nabire. Media ini bagus, hanya belakangan dimanfaatkan dengan kampanye tentang percepatan pemekaran IJT. Ini mau jadi apa? Saya lihat ada oknum wartawan yang keberadaannya patut dipertanyakan, karena mau menulis berita bila ada tujuan yang ingin dicapainya.
Di negara ini banyak terjadi kebohongan, apalagi seperti di Papua yang mempunyai sensitifitas tinggi bagi berbagai manipulasi kebijakan politik Indonesia. Banyak wartawan yang selalu mengejar keuntungan dari manipulasi berita yang dipublikasikannya. Jadi wartawan dapat untung dan nara-sumber yang diliput pun untung, ini semacam simbose-mutualisma dalam berpolitik.

Terlepas dari itu, kita bicara soal dasar hukumnya dikaitkan dengan situasi sekarang ketika Otsus diterapkan di Papua. Apakah sudah waktunya dan memang perlu pemekaran, termasuk IJT?

Dari dasar hukum Pemekaran Propinsi IJT sangat cacat, karena UU Nomor 45 Tahun 1999 telah �kadaluwarsa� dengan lahirnya UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Ini sesuai dengan dua prinsip hukum, yaitu UU yang baru (UU No. 21 Tahun 2001) mengalahkan UU yang lama (UU No. 45 Tahun 1999) dan UU yang lebih khusus (UU No. 21 Tahun 2001) mengalahkan UU yang lebih umum (UU No. 21 tahun 2001). Sementara lahirnya Inpres Nomor 1 Tahun 2003 yang memberlakukan kembali UU Nomor 45 Tahun 1999 juga cacat hukum, karena dalam struktur hukum Indonesia, keberadaan Inpres sebagai aturan pemerintahan telah dicabut oleh MPR pada Sidang Paripurna tahun 2002.
Sedangkan dari sisi waktu saat ini, saya pikir dilematis juga. Memang benar UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus mengatur pemekaran, tapi saya rasa lebih baik IJT tidak perlu dimekarkan. Perlu diingat bahwa pusat realisasi kebijakan Otsus itu ada di kabupaten, bukan di provinsi. Jadi, sebaliknya kabupaten itu yang berperan aktif dalam pembangunan masyarakat, bukan ribut-ribut memperjuangkan pemekaran provinsi baru.

Tadi Anda katakan bahwa pusat realisasi kebijakan Otsus itu ada di kabupaten, bukan di provinsi. Maksudnya?

Seperti yang ditegaskan oleh beberapa anggota DPRD Nabire hari Jumat kemarin, maka sebaiknya stop bermimpi IJT karena dasarnya tidak ada. Sebaliknya, kabupaten yang sudah ada ini harus dimaksimalkan, karena saat ini masyarakat minta pembangunan bukan pemekaran. Memang benar, DPRD Nabire telah memahami esensi penerapan Otonomi Khusus. Provinsi itu khan hanya sebatas pengawas pembangunan dalam Otsus, bukan pelaksana. Jadi rasanya lucu juga kalau ada wacana pembangunan dalam pemekaran IJT karena pembangunan konkritnya ada di tingkat kabupaten, bukan di provinsi. Nah, ini rupanya kelihatan kedok asli dari para pejuang pemekaran provinsi IJT.

Kalau dimekarkan, Nabire diusulkan menjadi ibukota IJT?

Kesiapannya sejauhmana? Saya kira benar bahwa Merauke yang sudah maju dua langkah saja tidak minta provinsi. Kenekatan minta Nabire jadi ibukota itu satu paket dengan ambisinya terhadap pemekaran provinsi IJT. Barangkali ada pemikiran bahwa Timika telah gagal jadi ibukota, sehingga mesti dipindahkan ke Nabire. Kalaupun jadi dimekar, Nabire tidak layak. Alasannya, karena tidak punya kesiapan wilayah yang baik, lagian penetapan ibukota provinsi IJT di Nabire juga bisa berseberangan dengan UU Nomor 45 Tahun 1999 yang diklaimnya sebagai �payung hukum� walaupun sudah tidak punya kekuatan hukum lagi.

Tujuannya untuk mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal, sekaligus mengoptimalkan Sumber Daya Alam (SDA) yang berlimpah-ruah di wilayah ini?

Bila dikatakan perjuangan pemekaran provinsi IJT itu untuk masa depan anak-cucu dan meningkatkan SDM di Nabire, maka itu bukan alasan mendasar. Sebaliknya, itu justru membeberkan kegagalan Bupati Nabire selama dua kali menjabat sebagai bupati. Bapak A.P. Youw dalam hal ini sudah keliru. Ada dua alasan. Pertama, pemekaran provinsi di Irian Jaya diberikan oleh Indonesia untuk orang Papua, bukan karena kasihan terhadap orang Papua dengan SDM dan pembangunannya, tetapi itu murni kepentingan atas wilayah Papua, karena itu tidak ada esensi pembangunan, kesejahteraan, SDM dan sebagainya di dalamnya. Kedua, Bupati Nabire tidak pernah mempersiapkan SDM yang cukup bagi Nabire selama dua kali masa jabatannya, kita melihat selama ini dia hanya membesarkan �Dinasti Youw� ibarat perilaku raja-raja Jawa kuno, jadi wajar saja tidak ada SDM yang matang dan siap pakai. Ini namanya bunuh diri, dan tentu akan menjadi kecelakan sejarah bagi orang Papua di masa mendatang.

Reaksi mahasiswa asal Nabire dan umumnya Papua Tengah di Jawa terhadap wacana IJT?

Di Jawa sini hanya sebatas main kucing-kucingan. Setahu saya memang ada beberapa mahasiswa yang pro-pemekaran IJT, tetapi mereka masih diam-diam karena memang tidak punya kemampuan yang cukup untuk bercatur dalam permainan politik semacam ini, walaupun sudah dipercayakan untuk sosialisasi ke tingkat mahasiswa untuk mencapai tujuannya.
Wacana paling laku di Jawa belakangan ini adalah masalah Papua Merdeka, sehingga kelompok pro-pemekaran merasa terpojok. Tapi ada keluhan dari beberapa mahasiswa yang kontra pemekaran, sebab ada semacam tekanan batin atau teror yang dilancarkan oleh kubu pro-pemekaran selama beberapa hari terakhir ini. (you)

PROPINSI IRIAN JAYA DIMEKAR, NEGARA PAPUA BARAT DIMAKAR

Masalah Pemekaran Propinsi Irian Jaya menjadi beberapa Propinsi belakangan ini menjadi buah bibir yang sangat ramai diperbincangkan di Papua. Dari perbincangan yang ramai itu, secara umum ada dua pandangan yang berbeda. Pandangan pertama bahwa pemekaran diperbincangkan karena di dalamnya ada �pembangunan� masyarakat Papua. Kelompok ini adalah orang-orang yang pro-pemekaran. Pandangan kedua bahwa pemekaran diperbincangkan karena di dalamnya ada �penjajahan� masyarakat Papua. Kelompok ini adalah orang-orang yang kontra-pemekaran.

Saya ingin menempatkan diri dalam cara pandang kelompok kedua, bahwa pemekaran diperbincangkan karena di dalamnya ada �penjajahan�. Banyak alasan yang bisa kita ambil untuk menilai bahwa di dalam pemekaran adalah �penjajahan�. Namun, yang disoroti di sini adalah latar belakang munculnya Pemekaran Propinsi Irian Jaya dengan pertanyaan pokok: mengapa Propinsi Irian Jaya dimekarkan? Benarkah untuk pembangunan?

Memang benar bahwa usulan pemekaran Propinsi Irian Jaya sudah ada sejak tahun 1984 karena ada keinginan dari beberapa orang (bukan aspirasi seluruh atau mayoritas masyarakat Papua). Setelah dilakukan penelitian mengenai kemungkinan pemekaran Propinsi Irian Jaya oleh Departemen Dalam Negeri, dikeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 174 Tahun 1986 dibentuk 3 (tiga) Wilayah Pembantu Gubernur, yang dipandang sebagai embrio bagi pembentukan Propinsi Daerah Tingkat I baru di Irian Jaya. Namun Dalam perkembangannya lebih dari satu dasawarsa, rencana pemekaran Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya (kini Provinsi Papua) tidak pernah terealisasi, dengan alasan utama keterbatasan anggaran negara.

Sejak keluarnya Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 174 Tahun 1986 hingga keluarnya UU No. 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, kabupaten Mimika, kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong pada 4 Oktober 1999, Indonesia masih berada dalam krisis keuangan negara yang tidak memungkinkan terjadinya Pemekaran Propinsi Irian Jaya. Tetapi mengapa dalam keadaan demikian, Pemerintah Pusat bersedia memberikan Pemekaran Propinsi Irian Jaya menjadi tiga Propinsi?

Alasan utama dan satu-satunya adalah untuk membendung aspirasi Papua Barat Merdeka yang dikumandangkan rakyat Papua sejak bergulirnya Reformasi di Indonesia tahun 1998. Beberapa rentetan peristiwa politik rakyat Papua Barat yang �bikin takut� Jakarta ketika itu adalah demonstrasi pelanggaran HAM di Papua (Mei dan Juni 1998), surat Kongres Amerika Serikat (22 Mei 1998) dan RFK Memorian (27 Mei 1998), aksi pengibaran Bendera Papua di seluruh Papua Barat, pendirian Forum Rekonsiliasi Masyarakat Irian Jaya � FORERI (24 Juli 1998), temuan aspirasi Papua Barat Merdeka oleh Tim Pencari Fakta DPR RI (27 Juli 1998), Deklarasi 1 Agustus 1999 tentang tuntutan kemerdekaan Papua Barat, dan Pernyataan Merdeka Tim Seratus (26 Februari 1999).

UU No. 45 Tahun 1999 dibuat dan ditetapkan sebagai jawaban atas tuntutan kemerdekaan Papua Barat yang berkembang dengan pesat waktu itu. Presiden B.J. Habibie yang sangat kaget mendengarkan tuntutan Papua Barat Merdeka mendorong lahirnya pemekaran Propinsi Irian Jaya menjadi tiga Propinsi. Hal itu dilakukan sebagai upaya pemisahan atau pemecah belahan wilayah dan penduduk Papua agar aspirasi Papua Barat Merdeka bisa dipendam. Ini adalah praktek politik �devide et impera� atau politik pecah bela yang sering diterapkan diberbagai belahan dunia sebagai bentuk penjajahan modern untuk tetap mempertahankan hegemoni negara atas sebuah wilayah yang dikuasainya.

Taktik penjajahan inilah yang tidak dipahami � bisa juga pura-pura tidak paham �oleh elite politik lokal di Papua. Sebaliknya mereka menerjemahkan Pemekaran Propinsi Irian Jaya itu sebagai upaya �pembangunan� atau upaya �kebaikan hati� atau �belas kasihan� Jakarta kepada orang Papua.

Tanggapan orang Papua, terutama para elite politik yang mengejar jabatan dan kekayaan lewat Pemekaran Propinsi ini harus disayangkan. Betapa tidak, tuntutan Papua Barat merdeka dibalas dengan Pemekaran Propinsi. Tuntutan mendirikan negara merdeka dibalas dengan tuduhan �makar�, sementara Pemekaran Propinsi yang bukan tuntutan rakyat Papua direalisasikan. Inilah praktek demokrasi �made in Indonesia�, yaitu demokrasi yang dikekang oleh hegemoni negara yang sangat jauh dari esensi demokrasi secara universal.

Karena itu, berpandangan bahwa Jakarta memberikan Pemekaran Propinsi Irian Jaya dalam upaya untuk �pembangunan� sangat berbanding terbalik dengan pandangan Jakarta memberikan Pemekaran Propinsi Irian Jaya dalam upaya untuk �penjajahan�. Tetapi dengan jelas kita mengetahui bahwa pemberian Pemekaran Propinsi Irian Jaya dilatarbelakangi oleh ketakutan Jakarta terhadap tuntutan kemerdekaan Papua Barat sejak bergulirnya Reformasi di Indonesia. Karena itu, maka Papua harus dipecah bela.

Dengan demikian ini adalah upaya menggugurkan embrio Negara Papua Barat yang disebut �makar� di Indonesia, sekaligus dalam upaya memproduksi dan merealisasikan taktik penjajahan yang bernama �mekar� Propinsi untuk kepentingan politik �devide et impera�. Sialnya elite politik lokal Papua sedang menari-nari di atas kebodohannya sendiri! ***

SUAKA POLITIK: INDONESIA MENGALAH ATAU KALAH?

Indonesia dan Australia kini masih dalam ketegangan diplomatik, walaupun intensitas ketegangan mulai mereda, menyusul diberikannya visa tinggal sementara berupa protection visa (visa perlindungan) kepada 42 dari 43 warga Papua Barat yang mencari suaka politik ke Australia oleh pemerintah Federal Australia tanggal 23 Maret 2006. Para pencari suaka politik itu berangkat dari Merauke tanggal 13 Januari 2006 dan tiba di Mapoon, kurang lebih 40 kilometer di sebelah utara Weipa yang terletak di sebelah timur laut Cape York, Australia tanggal 19 Januari 2006.

Pelarian 43 warpa Papua Barat ini mengundang reaksi yang keras dari pemerintah dan masyarakat Indonesia. Pemerintah Indonesia meminta Pemerintah Federal Australia untuk mengembalikan mereka ke Indonesia, karena meraka tidak berada dalam situasi terancam atau masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) untuk ditangkap atau dibunuh. Tetapi protes itu tidak digubris oleh Australia, sebaliknya Perdana Menteri Australia, John Howard mengatakan kepada Indonesia bahwa �Saya menghormati sensitifitas warga Indonesia terhadap isu Papua. Sebaliknya, saya meminta rakyat Indonesia untuk menerima prosedur yang berlaku di negara kami. Kami memiliki proses hukum dan aturan sendiri� (SP Daily, 18 April 2006).

Puncak kemarahan Indonesia adalah pemanggilan pulang Duta Besa Indonesia untuk Australia, Teuku Mohammad Hamzah Thayeb dari Camberra, tanggal 24 Maret 2006. Ini merupakan ancaman Indonesia bagi hubungan diplomatiknya dengan Australia. Tetapi pemerintah Australia tidak mencabut izin protection visa yang diberikan kepada 42 warga Papua Barat yang mencari suaka politik. Dua alasan pokok yang dipegang oleh Australia untuk tidak mengembalikan mereka ke Indonesia adalah alasan hukum dan alasan kemanusiaan.

Pertama, alasan hukum. Secara hukum Australia terikat pada hukum internasional dan hukum nasional Pemerintah Federal Australia. Hukum internasional berupa Konvensi tahun 1951 dan Protokol tahun 1967 tentang Pengungsian. Sedangkan hukum nasional Pemerintah Federal Australia berupa peraturan yang memasukan daratan besar Australia sebagai �zona imigrasi�, kecuali pulau-pulau di sebelah utara Australia.�

Konvensi 1951 dan Protokol 1967 mewajibkan agar pencari suaka politik yang tiba di sebuah negara dengan alasan apapun harus dilindungi, tanpa harus mempertimbangkan hubungan diplomatik antara negara asal dan negara tujuan pencari suaka politik. Karena itu, Australia sebagai negara pihak yang telah merativikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 mempunyai �kewajiban internasional� untuk melindungi para pencari suaka politik dari Papua Barat tanpa mempertimbangkan hubungan diplomatiknya dengan Indonesia.

Sesuai dengan hukum nasional, Pemerintah Federal Australia mempunyai kewajiban juga untuk melindungi para pencari suaka politik dari Papua Barat. Hal ini disebabkan karena para pencari suaka politik tersebut datang langsung dari daerah asal mereka dan mendarat (tiba) di zona imigrasi Australia, tepatnya di semenanjung Cape York. Menurut hukum Pemerintah Federal Australia, Cape York masuk dalam zona imigrasi.

Kedua, alasan kemanusiaan. Demi kemanusiaan para pencari suaka harus dilindungi. Dalam hal ini, Australia merupakan sebuah negara yang sangat rajin memantau perkembangan hak asasi manusia di Papua Barat. Hal itu terlihat dari opini publik di Australia ketika para pencari suaka politik tiba di sana. Hampir semua masyarakat Australia mendesak pemerintahnya untuk melindungi para pencari suaka politik. Mereka beralasan bahwa para pencari suaka politik terancam dibunuh di Papua Barat oleh pemerintah dan militer akibat perbedaan pandangan politik, terutama perjuangan rakyat Papua Barat untuk merdeka lepas dari Indonesia.

Australia mempunyai cacatan pelanggaran HAM di Papua Barat yang cukup panjang dan sistematis. Lebih jauh mereka menuduh pemerintah Indonesia telah dan sedang melakukan Genosida, yaitu tindakan pembasmian etnis Papua secara sengaja dan terencana. Buktinya, Amnesty International dan laporan hasil riset di beberapa perguruan tinggi dunia, menemukan 100 ribu lebih rakyat Papua Barat telah dibunuh secara sengaja oleh pemerintah dan militer Indonesia. Karena itu, dari segi kemanusiaan, Indonesia mempunyai �reputasi buruk� di depan publik Australia.

Dengan dua alasan ini pemerintah Federal Australia memberikan protection visa kepada 42 warga Papua Barat dan mereka tetap berpegang teguh bahwa tidak akan mengembalikan para pencari suaka politik tersebut ke Indonesia. Akibatnya, Indonesia marah dan kecewa dengan tindakan Australia tersebut. Indonesia merasa tidak menghormati hubungan diplomatik antara kedua negara yang sudah terbangun cukup baik.

Walau dengan perasaan kasal yang luar biasa, akhirnya Indonesia berpikir untuk berbaik kembali dengan Australia. Indonesia mengambil sikap untuk �mengalah� kepada pihak Australia. Karena itu, kedua belah pihak sepakat untuk membangun hubungan diplomatik yang lebih bersahabat dan saling menghormati di masa mendatang. Sehingga berbagai kerja sama mulai dibuka kembali, dengan diawali oleh kerja sama di bidang pertahanan.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah Indonesia �mengalah� atau �kalah� kepada Australia dalam masalah pencarian suaka politik 43 warga papua Barat ini? Jika dilihat dari persfentif hukum dan kemanusiaan sebagaimana diutarakan di atas, maka Indonesia berada pada pihak yang kalah total. Karena secara hukum, Indonesia tidak bisa mendobrak hukum internasional dan hukum nasional Pemerintah Federal Australia, dan Australia sendiri terikat dengan kewajibannya terhadap kedua hukum tersebut. Sedangkan dari sisi kemanusiaan, Indonesia juga telah kalah total karena tindakan pelanggaran HAM di Papua Barat tidak bisa diingkari lagi, dan disoroti sebagai negara yang mempunyai reputasi buruk dalam masalah pelangaran HAM di Papua Barat.

Karena itu, lobi dan permintaan pemerintah Indonesia kepada Australia untuk meninjau kembali pemberian protection visa merupakan sebuah ilusi belaka. Pemerintah Australi secara hukum dan kemanusiaan tidak bisa membatalkan pemberian visa tersebut. Sehingga, wajar kalau Indonesia kalah total, bukan mengalah. Ini sebuah kenyataan, bukan sebuah fantasi.****

RENCANA PEMEKARAN PROPINSI IRIAN JAYA TENGAH, ASPIRASI ATAU KONSPIRASI?

KIAN mengkristalnya rencana pemekaran Provinsi IJT belakangan ini, harus dipandang dari dua sudut padang yang berbeda. Dua sudut pandang itu sesuai istilah saya: sudut pandang aspirasi dan sudut pandang konspirasi. Kedua pandangan ini harus dikemukan untuk menilai rencana pemekaran provinsi IJT merupakan sebuah aspirasi rakyat atau konspirasi elite politik. Dua sudut pandang ini terutama untuk mengukur keberhasilan demokrasi.

Untuk menggambarkan sudut padang aspirasi, saya kutip pendapat Drs. P.I. Suripatty, Dekan FISIP USWIM Nabire dalam artikelnya yang dimuat di media ini (Kamis 8/6), bahwa �...sosialisasi-sosialisasi seperti ini dapat dijadikan indikator untuk menilai bahwa telah ada pengetahuan dan kesadaran di masyarakat, ...untuk lebih aktif memberi pemahaman kepada pihak yang kontra tentang manfaat pemekaran IJT.�

Sedangkan untuk menggambarkan sisi konspirasi, saya mengutip pernyataan teman saya dalam sebuah diskusi di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) beberapa waktu lalu, bahwa �saya melihat semua rencana pemekaran propinsi di Papua adalah permainan elite Jakarta dan lokal untuk meloloskan kepentingan borjuasi internasional, nasional dan lokal.�

Menilai rencana pemekaran IJT adalah sebuah aspirasi atau konspirasi, sebenarnya sangat mudah. Satu hal yang harus dijadikan indikator penilaiannya adalah euphoria politik dan dinamika sosial masyarakat dan elite politik ketika rencana pemekaran itu ramai-ramai diwacanakan bahkan sedang diperjuangkan beberapa waktu terakhir ini.

Nah, sekarang saatnya untuk menilainya dengan indikator tadi. Pertama, penilaian pemekaran IJT dengan sudut pandang aspirasi. Jika menyimak euphoria politik dan dinamika sosial dalam masyarakat, satu hal yang nampak jelas di depan mata adalah terpengaruhnya masyarakat dengan wacana pemekaran provinsi IJT. Hal ini sebagaimana tulis oleh Dekan FISIP USWIM dalam artikelnya: �...untuk lebih aktif memberi pemahaman kepada pihak yang kontra tentang manfaat pemekaran IJT.� Artinya, masyarakat yang kontra seakan-akan dipengaruhi dengan retorika politik dan pembangunan, bahwa pemekaran IJB benar-benar bermanfaat, sehingga masyarakat yang kontra seakan-akan menerima pemekaran itu dengan alasan mereka telah mengerti manfaatnya.

Kedua, penilaian pemekaran IJT dengan sudut pandang konspirasi. Bila menyimak euphoria politik dan dinamika politik nasional-lokal di Indonesia dalam kaitan dengan rencana pemekaran provinsi IJT, satu hal yang nampak jelas di depan mata adalah munculnya dua kepentingan. Pertama, dalam kepentingan politik nasional, Indonesia dihadapkan pada kekhawatiran merdekanya Papua Barat dari NKRI. Kedua, dalam kepentingan politik lokal, elite politik lokal mempunyai posisi tawar yang kuat terhadap elite politik nasional dan komprador ekonomi internasional untuk �berselingkuh� dalam kepentingan ekonomi, dengan prinsip saling menguntungkan.

Dengan dua sudut pandangan yang berbeda ini, sesungguhnya sedang terjadi gesekan kepentingan yang luar biasa. Gesekan itu sedang terjadi untuk meloloskan kepentingan golongan tertentu, bukan kepentingan masyarakat. Hal ini sangat jelas karena elite politik memandang masyarakat yang kontra pemekaran sebagai pihak yang belum mengerti politik atau manfaat pemekaran provinsi IJB. Padahal, dalam prinsip demokrasi yang tulen, masyarakat harus dilepas secara bebas untuk menentukan pilihan, termasuk pilihan untuk menolak rencana pemekaran IJT.

Sangat nyata sekali ketika elite politik lokal sambil �berselingkuh� dengan elite politik nasional dan komprador ekonomi internasional sedang mematikan proses demokrasi yang sesungguhnya berkembang di masyarakat berkaitan dengan rencana pemekaran IJT. Hal ini dilihat dari retorika politik-pembangunan yang sedang dikampanyekan dan �premanisme demokrasi� yang sedang ditonjolkan oleh kelompok pro- pemekaran IJT. Buktinya sangat jelas, masyarakat dididik untuk menerima pemekaran IJT dengan alasan �demi pembangunan�, selain itu masyarakat diancam dan ditakut-takuti jika menolak pemekaran IJT.
Jika masyarakat yang kontra pemekaran IJT disuguhi dengan retorika politik-pembangunan dan diancam secara paksa untuk menerima pemekaran IJT, maka harus dilacak lebih jauh ke dalam sistem negara ini tentang siapa yang mendorong retorika dan memaksa masyarakat dengan ancaman.

Bukan rahasia lagi, bahwa pemekaran provinsi yang dijalankan di Papua adalah murni proyek Badan Intelijen Negara (BIN). Buktinya? Provinsi IJB lahir dari perjuangan Irian Jaya Crisis Center (IJCC), sebuah lembaga bentukan BIN yang berujuan memecah-belah Papua. Ketika BIN ikut bermain dalam proses pemekaran IJT, maka dua hal akan muncul secara otomatis: membangun retorika politik-pembangunan, dan masyarakat diancam untuk menerima pemekaran IJT.

Pemekaran yang dipaksakan inipun penuh dengan kepentingan ekonomi elite politik lokal, nasional dan komprador ekonomi internasional. Mengapa? Disini ada dua hal. Pertama: secara ekonomi makro, Indonesia tergantung kepada �komprador ekonomi internasional�, oleh karena itu Indonesia harus menyiapkan �lahan gerilya� bagi �komprador ekonomi internasional� tersebut.

Salah satu �lahan gerilya� adalah rencana pemekaran IJT. Kedua: secara ekonomi mikro, elite politik lokal dan nasional tentu mempunyai kepentingan ekonominnya sendiri, karena elite politik Indonesia sedang diliputi penyakit �demam kekayaan� yang sangat akut.

Dengan dua kepentingan tersebut, sangat wajar jika memang tidak ada suara kontra pemekaran IJT yang sangat menonjol. Karena memang euphoria politik dan dinamika sosial masyarakat sekarang ini sedang di-setting sedemikian rupa oleh orang-orang yang profesional dalam mematikan pertumbuhan demokrasi di Indonesia dan Papua tentunya.
Akibatnya, proses demokrasi yang sedang terjadi sekarang di Nabire dan sekitarnya adalah �premanisme demokrasi� yang dimainkan oleh �preman-preman politik� demi kepentingan politik dan ekonomi.

Karena itu, sangat jelas sekarang bahwa aspirasi masyarakat sedang disumbat, dan dibangun wacana yang konyol seakan-akan masyarakat menghendaki pemekaran IJT. Proses peyumbatan aspirasi ini pun dilakukan demi berbagai kepentingan oleh berbagai pihak yang ingin menarik untung dari pemekaran IJT tersebut.

Kalau ini yang terjadi, maka itu namanya �konspirasi�, kata halus dari �perselingkuhan.� Dengan demikian, kita tunggu saja: akan lahir anak haram di kemudian hari akibat perselingkuhan tersebut.***

PERGULATAN MENCARI KEBENARAN: Apa yang Sedang Dicari oleh Rakyat Papua Barat?

Pergulatan Itu Dinamika Abadi

Sejarah kehidupan manusia telah dilumurih dengan berbagai dinamika. Dinamika itulah yang telah memberikan kehidupan ini begitu berwarna. Karena memang hidup ini berwarna maka semua manusia sering terbuaih dalam warna itu. Betapa tidak, kita bisa menyaksikan hidu ini berputar bagaikan rodakereta. Roda itu sebentar berputar ke atas dan ke bawah, sebentar menginjak lumpur dan sebentar tanah kering, sebentar menginjak lembah dan sebentar mengitari perbukitan, akhirnya semua seluk beluk dunia ini bisa dijangkau.
Mengapa roda itu mau menginjak sambil mengitari begitu banyak permukaan bumi ini?

Bisa kita saksikan dalam sejarah, tatkala dinamika itu terjadi. Lihat saja, pernah terjadi kehidupan manusia dalam suasana damai dan tenteram, pernah juga terjadi peperangan dan kelaparan. Tak jarang manusia tak luput dari kebecian dan balas dendam, tetapi juga sering ada cinta dan kasih. Semuanya ini memang diciptakan untuk terjadi. Sehingga ketika hal itu terjadi, maka kita jangan pernah kaget setengah mati. Ini memang sudah biasa dalam sebuah
kehidupan. Namanya saja sebuah dinamika kehidupan.

Barangkali yang perlu kita tanyakan – banyak orang bartanya – mengapa semuanya itu terjadi? Atau bisa jadi orang bertanya apakah semuanya itu harus terjadi? Jawaban paling lengkap bisa kita peroleh dari “Orang Yang Telah Menjadikan Dinamika Itu Sendiri”. Tetapi untuk memperoleh jawaban dari-Nya, apakah kita mampu untuk bertanya? Ataukah kita hanya mampu untuk berkeluh kesah dalam hidup ini? Entahlah! Tetapi, tidak. Kita harus menemukan dinamika hiduip itu sendiri. Kita jangan hanya bisa berharap dan berkeluh kesah saja. Kita harus memahami arti sebuah kehidupan.

Jangan pernah berpikir bahwa hidup ini akan berubah warna dalam sekejap saja. Jangan bermimpi hidup ini akan selalu damai dan tenteram. Jangan kira “hidup ini enak-enak” saja. Tidak. Hidup ini memang sangat susah dipahami. Ada musim hujan, ada musim semi ada panas dan musim gugur; ada saat tertawa, ada saat berduka; ada saat kenyang, ada saat lapar; ada saat cinta dan kasih menjadi nyata, tetapi jangan lupa ada saat cinta itu berubah menjadi kebencian dan dendam. Itulah hidup. Dia adalah kekal. Dia akan selalu terjadi di dalam sesuatu yang namanya “kehidupan” itu. Ya, dia sudah, sedang dan akan terjadi.

Yang menjadi masalah sekarang adalah mengapa pergulatan antara semuanya itu terjadi? Ya, jika kita tidak mau berpikir jauh, maka bisa kita katakan : semuanya itu memang ada dalam sebuah kehidupan. Tetapi, barangkali yang penting juga adalah pergulatan itu dalam upaya untuk menemukan sebuah nilai. Nilai yang ingin dicari dalam pergulatan itu adalah sesuatu yang inti dari sebuah kehidupan. Nilai itu memberikan sebuah kehidupan yang memberikan kelegahan. Jadi, singkatnya adalah dinamika itu boleh terjadi tetapi yang penting adalah dalam semuanya itu bertujuan untuk memperoleh arti kebenaran yang mutlak. Sehingga yang penting adalah biarkalah dinamika itu terjadi, tetapi dalam semuanya itu yang lebih penting adalah dalam upaya menemukan inti sebuah kehidupan. Ini adalah tugas pengembaraan manusia di dunia ini dalam upaya menuju “titik pemberhentian terakhir”. Disana tidak akan ada dinamika lagi, karena yang menang adalah “kebenaran” itu sendiri. Dia adalah dinamika tunggal, karena dia telah menang. Dan memang inilah yang dicari, yang merupakan sebuah hasil dari pergulatan dalam kehidupan manusia itu sendiri.

Papua Barat Melawan Dunia

Masa sekarang merupakan masa pergulatan. Pergulatan itu sedang teradi di mana-mana di seluruh belahan dunia. Masih saja terjadi perang Israel versus Palestina, Amerika versus Irak dan Amerika versus teroris (teroris menurut versi Amerika). Tidak jarang ada konflik antar etnis masih sangat subur di bumi Negro Afika. Di Indonesia masih ada perang Indonesia versus GAM (separatis versi Indonesia), juga masih ada pembantaian rakyat Papua Barat (pengkhianat bangsa versi Indonesia).

Ada juga perang ideologi. Lihat saja Demokrasi Liberal versus Islam, Kapitalis versus Sosialis, nasionalis Papua Barat versus nasionalis Indonesia. Lagi-lagi ada perang karena ini dan itu dengan berbagai dinamika yang menempel dan memberikan nilai padanya. Semuanya ini telah, sedang akan selalu terjadi dalam sesuatu yang namanya kehidupan ini. Dari semuanya ini, ada satu pertanyaan pokok : apa yang sedang dicari oleh manusia? Pertanyaan lanjutan dari pertanyaan pokok : siapa atau mana yang paling benar dan siapa atau mana yang paling salah?

Lagi-lagi ini semua pergulatan. Sekali lagi saya mau bilang : inilah dinamika sebuah kehidupan. Tetapi dalam sebuah dinamika kita harus menemukan sebuah kebenaran. Untuk itu semua pergulatan hidup ini harus dicari akar masalahnya. Untuk menemukan akar masalah ini tentunya bukan sebuah pekerjaan mudah, tetapi itu bukan sebuah alasan untuk menyerah. Kita harus mencoba menemukan sebuah kebenaran dalam setiap pergulatan. Namanya saja usaha.

Mari kita berbicara kasus Papua Barat. Saya lebih sepakat – juga banyak kalangan – bahwa musuh utama Papua Barat bukan hanya Indonesia. Kata lainnya, Indonesia bukan musuh tunggal Papua Barat. Oleh karena itu, saya lebih suka untuk mengusulkan musuh utama Papua Barat adalah “dunia”. Dunia artinya negara, bangsa, etnis, agama, lembaga atau apapun namanya yang ada di dunia ini yang mempunyai “niat buruk” terhadap Papua Barat. Ini semua adalah musuh Papua Barat.

Mengapa mereka ini adalah musuh? Jawabannya, karena mereka punya niat buruk untuk Papua Barat. Niat buruk untuk Papua Barat adalah dosa dan itu sesungguhnya dilarang oleh semua hukum yang ada di atas bumi maupun yang ada di Sorga (kecuali hukum karet bikinan kaum munafik).

Dunia telah melakukan dosa terhadap Papua Barat dan segala isinya (manusia, hewan, tumbuhan, tanah dan semuanya). Pertama kali dosa itu dilakukan oleh mereka yang datang dari negeri Barat (kolonial), entah yang datang sebagai penyiar agama maupun sebagai apa saja. Boleh saja agama disiarkan, tetapi yang jadi pertanyaan adalah : apakah memang benar menyiarkan agama adalah niat tunggal ataukah masih ada kepentingan di dalamnya? Jika memang ada kepentingan ekonomi, maka ini adalah dosa. Heran, katanya datang untuk memberikan pertobatan tetapi rupanya mereka menjadi pembuat dosa ulung. Ini namanya munafik. Artinya, melakukan dosa “atas nama Tuhan”.

Selanjutnya, beberapa negara – baik atas nama pribadi atau bangsa – misalnya Belanda, Spanyol, Portugis, Inggris, Jepang dan Australis melakukan dosa terhadap orang Papua Barat di Papua Barat. Mereka berebutan mengambil apa saja yang ada di tanah Papua Barat. Mereka sama sekali tidak sadar kalau di tanah itu ada penduduk asli Papua Barat, yang mana semua barang yang mereka rebut itu milik penduduk asli situ. Hai, manusia-manusia di manakah otak dan hatimu jika kalian punya otak dan hati? Lagi-lagi orang Papua Barat dibuat tidak berdaya.

Dalam dekade berikutnya, datanglah orang-orang Indonesia. Mereka datang dengan berbagai alasan. Alasan yang lebih manusiawi – menurut mereka – adalah : ingin membebaskan saudara-saudaranya dari penjajah. Alasan ini yang sering membuat saya “jengkel setengah mati”. Membebaskan saudara-saudaranya inilah yang mereka buktikan dengan membunuh saudara-saudaranya? Hebat benar kemanusiaan Indonesia, hebat juga karena mau masih bilang “saudara”, paling hebat karena mereka mau menghargai orang yang sama sekali berbeda dengan mereka.

Jadi apakah memang benar Indonesia adalah bangsa yang hebat? Apakah benar mereka pernah menghargai para pengemis di setiap pinggir jalan di Jawa? Apakah benar bereka lebih menghargai orang Papua Barat yang jauh dari Jakarta sambil mengabaikan pengemis di Jakarta? Hebat benar kemanusiaan Indonesia ini. Sesungguhnya ini sebuah alasan konyol yang sok manusiawi.

Yang dicari oleh bangsa, negara, orang Indonesia adalah “kekayaan alam” Papua Barat. Maklumlah, semua yang ada di Jawa telah dikuras oleh Belanda jadi sekarang mereka mau menguras apa yang ada di Papua Barat. Rupanya Indonesia adalah murid yang baik, yang mau mengikuti jejak gurunya Belanda. Tetapi saya sangat tidak heran dengan karakter bangsa Indonesia. Mereka biasanya teladan dalam segala hal, termasuk dalam hal “balas dendam”. Jangan pikir mereka sopan dan alim-alim di muka umum, mereka akan menyimpan dendam dan akan membalas jika ada waktu. Itulah Indonesia dan itulah yang sedang diterapkan di Papua Barat.

Jika ingin mengenal karakter orang Indonesia, maka pelajarilah orang Jawa. Contohnya begini : jika kita secara tidak sengaja menginjak kaki mereka, mereka akan mengatakan “tidak apa-apa”. Tetapi, sesungguhnya mereka “marah setengah mati” dalam hati sambil mengeluh “kamu tunggu saatnya yang tepat, aku pasti membalas”. Ini adalah dendam, dan dendam orang Jawa (Indonesia) itu biasanya tersimpan dalam hati seumur hidup.

Jadi, yang jelas Indonesia punya dendam sejarah terhadap penjajah Belanda. Dendam itu ingin mereka muntahkan tetapi sial sekarang Indonesia tidak punya daya terhadap Belanda. Salah satu jalan untuk memuntahkan dendam itu adalah “menjajah Papua Barat”. Inilah yang sadang terjadi dan memang benar mereka sedang membalas dendam sejarah. Aneh tapi nyata. Sehingga satu hal yang pasti : Indonesia ke Papua Barat untuk menjajah bukan memerdekakan. Ya, keluar dari mulut singa masuk ke mulut buaya. Itulah nasib Papua Barat kini dalam gigitan maut Indonesia. Lagi-lagi ini pergulatan.

Dalam sejarah Papua Barat juga banyak kali orang Papua Barat melawan dunia (negara, bangsa, golongan, ideologi, agama, pribadi atau apa saja yang memang melekat di dunia ini). Orang Papua Barat pernah jadi korban sejarah, korban politik, korban ideologi, korban ekonomi dan korban apa saja. Kita tahu, rakyat Papua Barat ditipu oleh Amerika Serikat, Belanda, Indonesia dan PBB. Mereka yang membicarakan masalah Papua Barat. Aneh, sepertinya mereka membicarakan masalah mereka saja. Mereka pikir tanah Papua Barat itu tanah air mereka.

Apakah mereka membicarakan nasib Tanah Jawa? Apakah mereka membicarakan nasib tanah Deen Haag? Apakah mereka pikir mereka membicarakan nasib tanah California? Apakah mereka pikir mereka membicarakan nasib taman bunga depan Gedung PBB di New York? Siapakah mereka sehingga mereka mau megurus tanah orang lain? Apa yang sedang dicari oleh mereka? Kitab Suci mana dan ayat/pasal mana yang memberikan mandat kepada mereka untuk membicarakan tanah Papua Barat? Perintah Tuhan lewat Nabi siapa yang mereka praktekkan? Jadi apa yang mereka cari di Papua Barat. Ini adalah pergulatan dalam sebuah dinamika kehidupan.

Sekarang banyak orang yang mulai berbicara masalah Papua Barat. Indonesia mengatakan “Papua Barat adalah final dalam NKRI”, Amerika mendukung dengan mengatakan “Otsus jalan terbaik”, Parlemen Eropa bilang “kami tidak mendukung Papua Barat merdeka”. Ada apa dengan mereka semua? Apa yang mereka cari?

Semuanya dilandasi oleh “kepentingan”. Affan Gafar bilang : dalam politik tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan abadi. Memang benar. Indonesia punya kepentingan di Papua Barat, Amerika punya kepentingan di Papua Barat, Parlemen Eropa punya kepentingan di Papua Barat, pokoknya semua punya kepentingan di Papua Barat. Terus siapa atau mana yang benar dan siapa atau mana yang salah? Lagi-lagi ini pergulatan.
Apa yang sedang di cari oleh manusia?

Barangkali Amerika pikir, ah, kalau Papua Barat merdeka pasti Freeport tidak aman dan Amerika rugi kalau tunggu sampai Papua Barat merdeka. Hal ini sesuai dengan logika berpikir ideologi kapitalis : maunya instant. Artinya, kalau tunggu sampai Papua Barat merdeka, itu berarti memakan waktu yang cukup lama jadi Amerika bisa rugi. Memang kapitalis selalu identik dengan nafsu. Atau lebih tepatnya : kemanusiaan no, kebendaan yes. Begitu seterusnya juga dengan negara, bangsa, golongan lain yang tidak menghendaki Papua Barat merdeka. Jadi mandat dari alam mana yang mereka ingin terapkan di Papua Barat? Apakah mereka punya kuasa yang mereka peroleh dari Sorga? Atau Neraka? Atau Kayangan? Atau alam mana? Barangkali alam otak dan hati mereka? Entahlah, yang jelas begitulah mereka.

Dampak dari semuanya itu adalah derita. Rakyat Papua Barat menderita setengah mati, rakyat mati dibunuh bagaikan binatang yang tak berdaya, alam Papua Barat dirusak. Jika semuanya seperti ini, apakah orang Papua Barat diam saja? Ataukah memang “harus” terjadi seperti itu? Aneh, tapi nyata kan? Rakyat Papua Barat menjadi manusia tak berdaya di negeri leluhurnya sendiri. Mereka hanya bisa mengeluh siang dana malam, tetapi tidak tahu keluhan mereka itu disampaikan kepada siapa. Mereka mengeluhg kepada Tuhan, tetapi merekla bilang pintu Sorga telah tertutup. Mereka mengeluh kepada manusia, tetapi telinga manusia telah menjadi batu. Lalu mereka mengeluh kepada siapa? Inilah dinamika sebuah kehidupan.

Sekarang semua pergulatan itu semakin gila-gilaan. Indonesia masih kepala batu dan tidak mau lepaskan Papua Barat. Dunia barat mulai buka mata lebar-lebar sambil menelan air liur untuk mencuri Papua Barat. Rakyat Papua Barat juga keras kepala untuk melawan dunia.. Bagaimana ini sekarang?

Apa dan Siapa Yang Menang?

Ada sesuatu yang sedang dicari dalam pergulatan ini. Ada sebuah nilai yang bisa menang untuk mengalahkan semua pergulatan ini. Wajar saja semua ini terjadi, wajar jika memang Indonesia masih pepala batu, wajar jika negara barat sok tahu terhadap Papua Barat. Semuanya wajar. Tetapi itu akan menjadi tidak wajar ketika “sesuatu” akan menang mengalahkan semuanya itu.

Kita tidak tahu yang akan menang itu apa dan siapa? Tetapi yang akan menang itu bukan orang Papua Barat saja, tetapi manusia semesta, karena kemenangan itu milik semua orang. Yang memang itu adalah “kebenaran”. Kebenaran itu milik semua orang, bangsa, negara dan alam semesta. Milik abang becak, mikik Mr. Bean, milik petani miskin di Guetemala, milik pelacur di sudut-sudut kota, milik nara pidana di penjara dan akhirnya milik alam semesta.

Kemenangan itu bukan Papua Barat Merdeka. Papua Barat Merdeka adalah “sisi kelihatan” dari kemenangan itu. Tetapi “sesuatu” yang melandasi kemerdekaan Papua Barat itu adalah milik semua umat manusia dan alam semesta. Dia bisa mengalahkan siapa saja. Dia bisa melawan TNI/BIN milik Indonesia, bisa mengalahkan senjata nuklir, bisa mengalahkan orang terkaya nomor satu di dunia, bisa mengalahkan petinju ternama Mike Tyson, bisa mengalahkan
kerakusan manusia ala manusia Indonesia. Ya, dia bisa mengalahkan semuanya.

Memang benar hidup ini sebuah dinamika. Tetapi dalam dinamika itu, apa yang sesungguhnya dicari oleh manusia yang sebenarnya tidak nampak? Dia adalah sebuah nilai kebenaran. Nilai itu melekat pada manusia, hewan, binatang dan benda mati. Pada diri mereka ada nilai kebenaran. Untuk menemukan semuanya itu pada diri mereka memang tidak mudah. Tetapi sesungguhnya ketika itu semua ada pada mereka, maka itu menjadi pertanda bahwa : kita sedang mencari sesuatu itu. Tetapi sial, dasar manusia, hanya mau bikin hidup ini
kacau balau.

Boleh saja manusia mau membuat dunia ini putar balik dalam berbagai bentuk dan itu menjadi pertanda bahwa hidup ini sebuah dinamika. Tetapi, dalam semuanya itu hanya ada satu nilai kebenaran. Dan kemenangan untuk mendapat nilai kebenaran itu selalu ada waktunya. Sehingga tidak salah jika orang bilang : segalanya akan menjadi indah pada waktunya.

Untuk memperjelas bahwa hidup ini memang sebuah dinamika, yang mana ada saat manusia berduka dan aka saat manusia bersuka ria. Maka saya mengutip sebuah puisi yang dibacakan oleh Rigoberta Menchu – pemenang hadiah nobel perdamaian tahun 1992 atas perjuangan melawan penindasan dan ketidakadilan pemerintahan militer Guetemala terhadap petani-petani miskin Indian – sebagai pengganti pidato ucapan terima kasih, ketika ia menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas UCA Managua, sebuah perguruan tinggi di Amerika Tengah, tanggal 10 Oktober 1992.

Telah kuseberangi batasmu, Guatemala.
Aku tak tahu, kapan aku akan kembali padamu

Mungkin di musim panas, ketika nenek bulan dan bapa matahari masih bersalam-salaman dalam gelap tamaran dan kelap-kelip bintang-bintang.

Kala itu musim penghujan

Tanaman labu akan berbuah, yang telah ditiadakan oleh berondongan peluru tentara… kawanan lebah akan kembali

Ngeri oleh demikian banyak pembantaian dan kekejaman mereka telah terbang mengungsi

Telah kuseberangi batasmmu, Guetemala,
Dengan perbedaan harga dirimu. …

Ibu kami sedih kenyang meminum darah, siang malam tiada henti tangisnya, tiada putus sedihnya

Bila nanti aku kembali, bersamanya kubawah pulang daya hidup yang baru

Ranselku akan kembali di tempat, di mana duluh dia berada, apapun yang terjadi

Telah kuseberangi batasmu, Guetemala.
Besok aku akan kembali

Bila ibuku yang disiksa-dianiaya hidup lagi, bila ayahku yang dibakar hidup-hidup bangkit kembali bersama rekah pagi

Untuk sujud di hadapan matahari di keempat sudut lahan kecil kami …

Agar terang bertebaran di jalan curam, jalan-jalan setapak di dataran batu
berhambar

Melalui barisan puisi di atas, kini telah nampak bahwa kemenangan akan datang pada suatu masa. Saat itu semua kelaliman, kebohongan dan kerakusan manusia akan bertekuk lutut di depan sebuah “kebenaran” dan dia akan menang untuk sepanjang masa dalam setiap dinamika kehidupan manusia. Mari kitatunggug waktunya tiba.

Saya pikir seperti itu duluh! ***

MENGOREKSI DIRI DAN "MENGORE" INDONESIA UNTUK PAPUA MERDEKA

Paerjuangan Papua Merdeka pada umumnya merupakan masalah dua kelompok besar (Indonesia dan pendukungnya dengan pilihan INTEGRASI sebagai pilihan politik yang final di samping itu sebagai versus-nya adalah Papua Barat dan pendukungnya dengan pilihan MERDEKA sebagai pilihan politiknya yang final). Kedua kelompok ini sudah, sedang dan akan saling mempertahankan diri dengan berbagai alasan mulai dari yang masuk akal hingga sangat tidak masuk akal. Namun, pada kesempatan ini saya ingin menymbangkan - walau agak tak pantas sebagai suatu sumbangan pemikiran - beberapa ide saya yang harus kita (Orang Papua Barat) perhatika sebagai pedoman dalam menuntut kemerdekaan Papua Barat.

Mengoreksi Diri
Orang yang tidak pernah malakukan kesalahan adalah orang yang sangat diragukan akan KEMANUSIAANYA. Orang yang tidak pernah salah adalah orang yang sama sekali tidak pernah hidup. saya pikir kita semua orang Papua Barat (terlebih saya sendiri) PERNAH BAHKAN BIASA BERBUAT SALAH. Kesalahan apa yang kita orang Papua perbuat dalam menuntut kemerdekaan Papua Barat? Saya rasa sangat banyak kesalahan. Sebagai contoh : banyak pejuang yang berjuang untuk kepentingan perut, kita banyak bicara tanpa banyak bertindak, banyak kesalah pahaman atas apa yang kita diskusikan, ketakutan yang merajalela dan lain sebagainya. Semuanya ini hanya contoh PALING SEDIKIT DARI YANG PALING BANYAK yang sempat melintas di depan otak yang yang kebetulan saya tangkap. Tentunya kita semua belum melakukan semua kesalahan semacam ini, artinya kita tidak semua bersalah. Tetapi betapapun kecilnya suatu kesalahan akan menyebabkan kogoncangan/kehancuran dalam diri kita orang papua sendiri. Ingat semua yang kita lakukan entah baik atau buruk sangat kita perlukan. Kita perlu sebuah kesalahan/kekeliruan. Jika kita salah dan keliru, maka saat itu adalah kesempatan emas bagi kita untuk bangkit. Memang kita harus bersalah dan keliru ketika kita mau maju ke arah pencerahan jiwa dan bangsa sebagai MANUSIA YANG BENAR-BENAR MERDEKA.

Ya, saya rasa banyak kesalahan yang telah kita buat dan walaupun kita menyangkal matian-matian pun hanyalah waktulah yang akan bersaksi pada hari, jam, bulan atau tahun berap kita bersalah. Tetapi baiklah kesalahan itu kita jadikan PELAJARAN BERHARGA. satu hal yang sangat penting kita butuhkan sekarang adalah MENGUMPULAKAN KEMBALI (Rekoleksi) kesalahan kita yang telah kita perbuat dan melakukan suatu perbaikan / pembaharuan diri. Sata sering berpikir alangkah indahnya perjuangan Papua Merdeka jika KITA MENGANDALKAN OTAK DAN HATI DALAM PERJUANGAN. Yang saya amati selama ini (baik diri saya maupun orang lain) adalah BANYAK MENGANDALKAN OTAK TANPA MEMPERDULIKAN HATI. Jika sekarang kita mulai sadar atau paling tidak BELAJAR SADAR dari semua kesalahan kita, maka kita jangan katakan besok apa yang dapat kita kerjakan sekarang. Cukup... cukup... dan cukup jika selama ini kita hanya menjadi MANUSIA BEROTAK TANPA HATI. Memang orang sering katakan jika kita salah, maka pasti kata orang HEI.. PAKE OTAK. Ya, memang benar otak dapat mempengruhi semua cara berpikir kita. Tetapi yang sekarang kita harus usahakan adalah PERJUANGAN PAKE HATI. Pertalihan antara OTAK DAN HATI AKAN MELAHIRKAN MANUSIA YANG BANAR-BENAR MANUSIAWI, dan orang semacam inilah yang kita katakan manusia sejati. Jika dikaitkan dengan perjuangan kita (Papua Merdeka), maka mereka inilah yang akan menjadi pemimpin yang sejati baik dalam perjuangan kita sekarang maupun dalam mengisi kemerdekaan kita nanti. Sungguh perjuangan dengan menyesalih kesalahan masa lalu adalah kunci menuju kesuksesan. Kata kunci yang saya rasa sangat penting adalah "JANGAN MASUK KE LUBANG YANG SAMA".

Kore Indonesia Cs.
Kore dia sudah.... adalah kata yang sangat pentas kita gunakan ketika kita mulai pasang jurus menghantam Indonesia. Tapi jangan hantam dengan balok atau martelu. Kita hantam dengan hati dan otak. Kini Indonesia dihadapkan pada KEBINGUNAN NASIONAL. Lihat saja dia sudah mulai pusing dan bertindak takaruan saja, penyelenggaraan negara sudah mulai morat-marit, mau darurat sipil tapi aneh dia mau hadapi apa sedangkan rakyat Papua hanya diam nonton dia punya kelakuan itu. Ketika Indonesia mulai bingun mau buat apa, maka kesempatan itu kita gunakan untuk KORE dia terus hingga konsentrasinya hilang. Masalah papua tetap hangat adalah hal yang sangat penting, maka marilah kita semua berjuang sesuai dengan apa yang kita bisa perbuat. Kita semua punya posisi yang tersendiri tetapi sedng berjuang demi satu tujuan. Saya sangat tidsak setuju jika banyak orang berkata : jika berjuang harus masuk ke salah satu organisasi dengan alasan karena itu satu-satunya jalan yang paling efektif. Saya pikir yang bikin efektif itu manusiaya yang bikin efektif, BUKAN organisasinya yang efektif dan manusia hanya ikut organisasi itu. Kadang organisasi juga hanya tempat duduk-dukuk ketika tak ada pekerjaan. Saya tidak mau menyalahkan siapa-siapa, tetapi hal yang sangat penting adalah KITA SADAR DAN SADAR SERTA BERJUANG DENGAN MULTIFUNGSI TUNGGAL TUJUAN yaitu PAPUA MERDEKA.

Semoga kita sadar.... sadar.....dan..... sadar......
Gunakan OTAK DAN HATI DALAM PERJUANGN MENUJU KEMERDEKAAN PAPUA BARAT

ARTI SEBUAH PERJUANGAN

Dalam berpikir, berbicara dan bertindak untuk kemerdekaan Papua, sebaiknya kita bisa merenungkan enam pertanyaan di bawah ini :


1. Apakah kemerdekaan Papua Barat?
2. Mengapa Papua Barat ingin merdeka?
3. Siapa yang akan memerdekakan Papua Barat?
4. Dimana Papua Barat akan merdeka?
5. Kapan Papua Barat akan merdeka?
6. Bagaimana Papua Barat akan merdeka?

Kita harus merenungkan keenam pertanyaan di atas ini dalam perjuangan kita menuju kemerdekaan Papua Barat. Hal ini memang tidak muda dan memerlukan suatu perjuangan yang berat dan besar, namun itu bukan bebarti kita harus menyerah dan mundur dari tengah jalan. Kita harus berjuang dengan berbagai cara dan bervariasi cara dengan satu tujuan yakni kemerdekaan Papua Barat.

Suatu ketika seorang teman yang juga aktivis kemerdekaan berkata kepada saya begini "Kamu jangan hanya mengkritik orang saja, tetapi kamu juga harus berjuang" Saya memang tidak paham apa arti kritikan dia dan saya juga terus terang tidak menegrti apa yang dia pahami tentang kata "PERJUANGAN". Maka ketika dia mengatakan "kita harus berjuang hanya lewat organisasi", saya sama sekali tidak menerimanya. pendapat dia yaitu "Berjuang lewat organisasi saja". Hal ini menurut dia karena organisasi adalah "satu-satunya" cara yang efektif. Sejujurnya saya tidak sependapat. Tapi saya sangat berterima kasih sekaligus saya ucapkan banyak penghargaan kepada dia, karena kritik dan saran adalah langkah awal menuju suatu perbaikan dan pembaharuan demi kemerdekaan Papua Barat. Saudaraku Terima kasih, tragampang.

Pendapat saya mengenai hakekat dan arti "Sebuah Perjuangan" adalah "Banyak Jalan Menuju Roma". Jadi kita kalau bertanya kepada diri kita sendiri demikian "apakah seorang putra Papua yang sedang kuliah, belajar, bekerja, menangis, berpikir dan berdoa serta rindu akan kemerdekaan adalah bukan pejuang kemerdekaan" apakah jawabannya? Saya dengan terus terang dan penuh keyakinan menjawab "mereka pejuang" Mengapa? Ya... setiap orang Papua yang berpikir dan bertindak dengan cara lainpun, jika mereka melakukannya demi satu tujuan kemerdekaan Papua Barat apakah mereka kita lupakan? Tentunya tidak. Mereka kita hargai dan mereka modal kemerdekaan Papua Barat. Jika seorang yang menamakn diri seorang "pejuang sejati" tapi akhirnya dia menjadi pengkhianat itulah yang dinamakan "bukan pejuang".

Mana yang terbaik "pejuang yang jadi pengkhianat" atau "kelihatannya diam tapi jadi pejuang"? Kita akan memilihnya sendiri sesuai dengan apa yang kita sukainya sesuai dengan hati nurani kita masing-masing. Namun, saya selalu berpendapat bahwa kita semua orang Papua Barat adalah "pejuang" ketika kita belum jadi "pengkhianat". Jadi semua orang Papua Barat (pelajar, mahasiswa, petani, pelaut,pegawai, TPN/OPM, pengungsi, orang mati/pahlawan bahkan orang gila sekalipun). Ini kita harus akui bersama dan kita harus pertahankan. Artinya, tidaklah salah jika kita semua berjuang dengan cara kita masing-masing, yaitu petani bertani, pegawai kerja kantor, mahasiswa dan pelajar belajar dengan giat, yang berdoa silakan berdoa, yang menangis silakan menangis, yang rindi silakan rindu. Namun, ingat satu syarat yaitu "Demi Kemerdekaan Papua". jadi sambil kita jalankan profesi kita, kita berpikir dan bertindak untuk kemerdekaan Papua. Itulah hakekat dan arti "perjuangan". Jadi yang namanya pejuang itu bukan mereka yang sedang bicara banyak dan gabung dalam oranisasi saja, tetapi kita semua dengan syarat "demi kemerdekaan". Kita menyelam sambil minum air, kita berjuang sambil menjalankan tugas kita yang lain. Mahasiswa dan pelajarkan harus belajar toooo, soalnya kalo kitong su merdeka juga kitong butuh orang pintar juga mooo, begitu juga dengan Orang Papua Barat dengan profesi lainnya. Yang penting kita melalakukan semuanya dengan hati yang tulus dan iklas demi kemerdekaan.

Saya pikir penjelasan singkat saya ini walau hanya "komentar orang gila dan pemberontak" namun terdapat makna yang sangat mendalam dan menjadi misteri buat kita dalam perjuangan yang harus kita perhatikan sekaligus membuka "tabir misteri" demi kemerdekaan Papua Barat.

Hai tanahku Papua kau tanah lahirku, kau hendak kukasihi hingga ajalku

PAPUA BARAT DALAM DEKAPAN SEJARAH KELABU

Selayang Pandang

Erangan kesakitan di tanah Papua Barat tidak pernah disuarakan oleh para korban yang paling menderita dan sengsara. Selama bertahun-tahun mereka terdiam membisu. Di mana pun hak asasi manusia tekah diinjak-injak secara kejam, di sanalah kebisuhan dan kepasifan merajalela tidak meninggalkan jejak dalam sejarah, karena sejarah hanya mencacat perkataan dan perbuatan mereka yang mampu meskipun hanya sekelumit mengatur nasib mereka sendiri, atau paling tidak mencoba berbuat demikian.

Masih sangat banyak dan kini pun demikian sedang terjadi pria, wanita, anak-anak dan orang dewasa yang sebagai akibat teror, kemiskinan, pembunuhan, kebohongan serta kejahatan lainnya telah dipaksa melupakan martabat yang sebetulnya tidak dapat dipisakan dari diri mereka, atau dibuat untuk melepaskan usaha-usaha untuk menjamin pengakuan terhadap martabat itu oleh yang lain. Mereka membisu. Kebanyakan korban yang mengeluh dam didengarkan suaranya adalah yang bernasib baik dan beruntung, sebab memang tidak mudah menegakkan Hak Asasi Manusia ketika dijadikan mainan anak-anak.

Setiap orang Papua Barat – termasuk saya – pasti sangat berbangga ketika semua pikiran, perasaan dan tindakan kita dikaitkan dengan tanah Papua Barat itu. Batapi tidak, sebab di negeri yang banyak mendadat julukan manis ini tersedia beragam fauna, flora dan mineral. Sungai-sungai mengalirkan emas dari perut bumi hingga ke permukaan bahkan sampai ke samudera lepas, lembah-lembah bertaburan minyak bumi, hutan menjadi indah – bahkan bisa dijuluki taman bidadari – karena indahnya pepohonan dan bunga semerbak harumnya, lautan dan danau menyimpan berbagai jenis binatang air dari yang pernah diketahui dalam sejarah hingga binatang yang masih misterius dan berbagai “sweet memory” lainnya yang akan kita bawah pulang ketika kita akan menutup hidup kita masing-masing sambil berkata “West Papua My Love”.

Kita semua tentu berbangga atas semuanya – saya juga senang – sebagai insan negeri belantara. Namun, pertanyaannya adalah : Apakah Papua Barat masih seperti yang duluh? Apakah burung masih berkicau memuji pencipta-Nya? Apakah anak negeri masih berlari ke sana-kemari sambil menikmati manisnya madu belantara? Apakah gadis-gadis manis bersiap-siap menanti mempelai laki-lakinya dengan status “gadis”? Ingat orang selalu berkata bahwa “Sebuah Renungan Menuntut Jawaban”. Kini kita dalam proses perenungan dan perjuangan – sambil menyelam minum air – demi “sesuatu” yang kita nantikan. Tapi satu hal penting yaitu “Papua Barat Bukan Seperti Yang Duluh”.

Tidak Luput Dari Kejahatan Negara

Kejahatan apa yang tidak pernah terjadi di Tanah Papua Barat? Semua orang baik yang sudah mati karena dibunuh, diculik, dibuang, dibakar, diperkosa, dianiaya, diasingkan dan dipenjarakan serta semua orang Papua Barat yang masih hidup sekarang di Papua, di rantauan, di hutan dan di pengasingan bahkan yang akan lahir dalam waktu-waktu mendatang, dengan sepakat dan tegas mengatakan bahwa “Semua Kejahatan Kemanusiaan Pernah, Sedang dan Akan Terjadi di Papua Barat” ketika bangsa Indonesia – yang katanya bangsa beradab – ini masih berkuasa di Papua Barat.

Kata orang sejarah adalah guru yang baik, maka rakyat Papua Barat sudah punya cukup bukti dalam sejarah bahwa “Indonesia pernah, sedang dan akan menerapkan semua bentuk kejahatan di Tanah Papua Barat”. Sejarah telah mencatat bahwa ketika bangsa Indonesia berada di Papua Barat dia bukan lagi “bangsa beradab” tetapi dia adalah “bangsa biadab”. Titik !! Segalah bentuk kejahatan telah dia (Indonesia) lalukan di Papua Barat, mulai dari kejahatan yang halus (main halus) hingga kejahatan yang kasar/keras (main kasar). Dalam melakukan semuanya ini dia selalu berada dalam posisi yang benar, seakan-akan tidak ada kata “haram” dalam lembaran kamus penyelengggaraan Negara yang dia “agung-agungkan” sebagai Negara hukum dan demoktrat ini.

Ketika kita – orang Papua Barat sejati dan para aktor peduli HAM – menggungkit-ungkit masalah kejahatam Negara Indonesia di Papua Barat, maka bukan suatu keanehan jika ratapan tangis menghiasi panorama hidup ini. Hal ini disebabkan karena di depan pandangan kita ribuan tengkorak manusia bertebaran, ratusan gadis meratap hilangnya keperawanan di tangan militer, ibu-ubu telah menjadi janda kehilangan suami buah hatinya, anak-anak terjatuh memikul batu kilangan sang diktator, sungai-sungai bening yang membela kesunyian negeri telah berubah mengalirkan darah ibu kandung, kilauan-kilauan emas di bukit-bukit tidak memancarkan cahanya seakan kemegahaannya telah pudar di telan bumi dan burung-burung elok di hutan belantara berhenti bernyanyi seakan-akan negeri ini tidak berpenghuni. Jika demikian apa yang tersisa dan menjadi kenangan atau bingkisan kita akan anak cucu kita nanti? Kalau bukan “luka hati” apalagi.

Dalam Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan (Declaration of Basic Principles of Justive for Victim of Crime and Abuse of Power) paragraph 1 dan 2 menjelasakan arti kata “korban kejahatan” kemanusiaan. Bunyinya demikian “Korban bebarti orang yang seara perorangan atau kelompok menderita kerugiaan, termasuk secara fisik atau mental, penderitaan emosional, kerugiaan ekonomi atau perampasan nyata terhadap hak dasar mereka” selanjutnya berbunyi demikian “…istilah korban juga termasuk – sejauh dipandang tepat – keluarga langsung atau orang yang secar langsung berada di bawah tanggungan para korban dan orang-orang yang telah mengalami penderitaan dalam membantu para korban yang sengsara atau dalam mencegah orang-orang agar tidak menjadi korban…”.

Melihat definisi kata korban kejahatan di atas ini, maka dalam kasus Papua Barat orang yang menjadi korban adalah semua orang Papua Barat tanpa kecuali dan orang luar Papua Barat yang selama ini sangat peduli dengan kejahatan di Papua Barat. Orang-orang Papua Barat yang sudah, sedang dan akan berpesta pora, yang tersenyum dengan uang darah, para pelajar/mahasiswa yang sedang keenakan dengan jerih paya orang tua – termasuk saya – di pulau Jawa dan daerah lain, para pengungsi di negeri asing, para pejuang sejati di rimba raya, para pembelah hak-hak dasar orang Papua Barat dan kita semuannya adalah “Korban” kejahatan Negara Indonesia. Jadi kesimpulannya jangan kita mengartikan kata korban secara sempit dan radikal, hal ini sangat penting karea selama ini di benak hati kecil kita dan dalam rekaman otak, kita selalu berpikir dan berkata bahwa yang menjadi korban kejahatan Indonesia adalah mereka yang dibunuh, diperkosa, diteror, diintimidasi, dipenjarakan dan tindakan lainnya yang pada hakekatnya menghancurkan hak dasar manusia. Padahal saya, ko, dia, dorang dan kitong semua adalah korban nihhh..

Jenis-Jenis Kejahatan

Terdapat tiga kata yang sangat sulit diungkapkan oleh bangsa-negara Indonesia kepada seluruh rakyat Papua Barat hingga kini yaitu kata “Kami Telah Bersalah”. Hal ini kita harus akui bersama sebab kenyataan tidak akan dibungkam oleh kekuatan apapun dan dengan cara apapun. Namun, di balik semunya ini rintihan penderitaan rakyat Papua Barat seakan-akan menjadi semangat baru dalam mengulangi kejahatannya lagi dengan kekuatan militer yang dibekking oleh Negara. Jika atas nama Negara maka semuanya adalah halal.

Kejahatan Kasar (Keras)
Bukan suatu hal baru dan keanehan – jangan heran – jika orang sekarang mengatakan banhwa jumlah korban yang mati dibunuh oleh Indonesia sejak Papua Barat “dicuri” (aneksasi) hingga saat ini berjumlah 100 ribu orang menurut Amnesti Internasional dan menurut sumber lain berjumlah 600 ribu orang. Secara pribadi saya selalu berpendapat bahwa banyaknya orang Papua Barat yang dibunuh menjadi mangsa Indonesia adalah lebih dari 100 ribu atau 600 ribu orang. Mengapa? Kemungkinan besar bahkan memang benar bahwa orang Papua Barat yang dibunuh adalah lebih dari 100 ribu atau 600 ribu orang karena jumlah ini merupakan jumlah yang pernah dihitung karena memang ketahuan atau yang pernah didatakan. Tetapi kita jangan salah pikir bahwa selain yang berhasil dihitung, terdapat juga ratusan bahkan ribuan orang Papua Barat yang diculik, dibunuh dan di buang ke sungai, laut, jurang, hutan, lembah, dibakar hingga dikubur tanpa bekas yang belum kita ketahui. Jika tanah Papua Barat bisa bersuara dia akan bersaksi “di sinilah anakku dikubur atau dibuang”. Jadi yang jelas korban pembunuhan di Papua Barat hingga kini lebih dari 100 ribu atau 600 ribu orang.

Secara periodic sesungguhnya pemnbunuhan di Papua Barat sudah terjadi sejak lama, namun saat itu militer adalah “yang terhormat” sehingga tidak ada orang yang peduli dengan pembunuhan. Pembunuhan rakyat Papua Barat dilatar belakangi oleh adanya anggapan Indonesia akan “separatisme” secara nyata. Separatisme adalah alasan demi meng-legal-kan pembunuhan dan pembasmian, padahal sesungguhnya di balik alasan “separatisme” masih terkandung maksud dan bahkan “tujuan” Negara yang sesungguhnya yaitu “Upaya Pembasmian Etnis Papua Barat”. Mengapa hal ini bisa terjadi? Ingat satu hal yaitu orang Indonesia mencuri Indonesia bukan karena manusianya tapi karena tanahnya (kekayaannya).

Menguraikan semua pembunuhan di Papua Barat oleh Indonesia – bangsa biadab – sangatlah tidak cukup dalam tulisan singkat ini karena jumlahnya yang sangat banyak. Yang jelasnya bahwa ketika rakyat sipil Papua Barat dicap “kaum separatis”, maka di sanalah dentuman senjata silih berganti mencabut nyawa manusia kesayangan pencipta-Nya. Sekujur tubuh manusia tak berdosa itu berlumuran darah, tak satupun bagian tubuhnya luput dari tendangan sepatu lars dan hantaman pantat senjata. Bukanlah hal yang asing bagi rakyat Papua Barat ketika gadis-gadis diperkosa secara bergantian oleh beberapa anggota militer di tempat operasi (OPP=Operasi Gadis Papua), yang belakangan diketahui gadis-gadis itu mangandung dan melahirkan anak haram “Sang Amber”. Para kepala suku dipukul, dianiaya bahkan jantungnya dicopot lalu dipanggang seperti sate kemudian diberikan kepada keluarga dan masyarakatnya untuk dimakan. Jangan heran ketika sering terjadi sebuah pasangan suami-istri di bawah ke tengah lapangan dan disuruh berhubungan badan di depan seluruh warga kampung, bukan itu saja selajutnya jika melawan atau tidak melawan tentara akan memotong alat kemaluan suami lalu diberikan kepada istrinya untuk dimakan dan sebaliknya alat kemaluan istri dipotong untuk diberi makan kepada suaminya. Sejarah juga pernah mencatat ketika orang Papua Barat dibunuh, darahnya diberikan kepada orang yang menyaksikan pembunuhan itu untuk diminum. Bukan hanya itu saja, sudah menjadi kebiasan militer Indonesia memanaskan besi lalu dimasukan ke dalam dubur seseorang hingga tembus ke kepala. Pernah juga terjadi sungai Baliem di Wamena airnya berubah warna menjadi merah oleh darah manusia, pada saat itu selama dua minggu rakyat tidak minum air dan mencari ikan. Yang jelasnya rakyat Papua Barat tidak pernah luput dari siksaan fisik di tubuh mereka hingga kematiannnya.

Selain siksaan yang langsung dirasakan pada diri (tubuh) mereka, juga terdapat pelanggaran HAM dalam bentuk lainnya secara terang-terangan oleh Indonesia. Pembakaran kampung di daerah operasi adalah suatu hal biasa. Kita lihat kasus yang mengegerkan dunia “Operasi Mapenduma”. Dalam operasi ini terjadi pembakaran kampung secara “gila-gilaan”. Beratus rumah penduduk lenyap ditelan api si jago merah, gereja-gereja tidak luput dari “gilanya” militer Indonesia, rumah sakit dan sekolah luluh berantakan. Tidak ada kata lain bagi para penduduk selain kata “lari ke hutan”. Di hutan apa yang terjadi? Di hutan para pengungsi si sambut hangat oleh “ratapan dan kertakan gigi”. Di hutan inilah sebagian besar dari penduduk yang mengungi di tanah airnya sendiri ini mati secara beramai-ramai, mereka diserang wabah penyakit dan kelaparan yang tiada hentinya. Di sini mereka tidak berbuat apa-apa, jika berani keluar dan berani menampakkan batang hidung, maka dentuman “mesin pembasmi manusia” telah siap-siaga menjemput mereka dengan bunyi “dumm” artinya “selamat jalan manusia kera”. Hal semacam ini bukan hanya terjadi dalam “peristiwa Mapenduma” tetapi sudah biasa terajadi di daerah Papua Barat lainnya. Yang jelas “kampung hangus”, rakyat lari ke hutan dan mati di sana, hutan Papua Barat adalah saksi yang akan membisu selamanya.

Belum puas sampai di sini militer Indonesia melakukan pencurian secara membabi buta. Di daearah operasi kebun-kebun rakyat adalah tempat mencari nafkah “perampok kelas kakap”. Hasil kebun dicuri tanpa sisa, bahkan ampasnyapun dijilat. Inilah karakter bangsa-negara Indonesia yang rakus – jangan heran jika korupsi merajalela dewasa ini – sebab benih-benih perampokan sudah tertaman dari dalam dirinya sajak dahuluh kala. Bukan hanya hasil kebun, hewan peliharapun menjadi target pencurian militer Indonesia. Para militer yang muslim – mungkin katanya taat agama – tetapi ketika dihadapkan pada hewan peliharaan (babi) yang katanya haram, ketaatan akan agamanya hilang dalam kerakusan sehingga daging babipun dilahapnya dengan rakus. Ini berarti tiada militer yang taat agama di negeri Indonesia ini, mereka rupanya para pemeluk agama karbitan (maaf jika ada pembaca muslim yang tersinggung).

Uraian singkat di atas ini hanya sangat sedikit dari yang sangat banyak yang dikemukakan. Namun, yang menjadi catatan penting yaitu selain uraian pelanggaran HAM secara kasar (nyata) ini masih ada cara kasar (terang-terangan) lainnya seperti teror, intimidasi, pengejaran, penganiayaan, pemenjarahan dan kejahatannya lainnya yang mengakibatkan “Papua Barat selalu berduka”.

Kejahatan Halus (Terselubung)
Belakangan ini kita dikagetkan dengan beberapa kasus di Papua Barat. Data terakhir dari ASA (Aksi Stop Aids) Jakarta dan Dinas Kesehatan Papua menyebutkan banhwa sudah terdapa 1263 kasus HIV/AIDS di Papua Barat. Kita juga kaget dengan “Kerusuhan Timika” dalam pro versus kontra pemekaran propinsi Irian Jaya Tengah yang menelan korban jiwa. Kita juga sering mendengar KKN sedang meraja lelah di Papua Barat. Para pilitisi ribut setiap hari untuk jabatan dan uang. Tempat-tempat hiburan seperti bar dan diskotik bertaburan di tengah kota bagai jamur di musim hujan, orang Papua Barat mabuk tanpa sadar hingga sering dapat pukul bahkan mati dihajar massa. Pasar-pasar di kota hinga ke pelosok tanah Papua Barat dikuasai oleh para pendatang non Papua sehingga orang Papua Barat menjadi pembeli sejati. Para pendidik di bangku pendidikan mengajar anak didiknya dengan materi pelajaran produk Jawa (contoh : Budi makan nasi, bukan Rumbewas makan sagu). Gunung-gunung menjadi gundul akibat penebangan liar dengan dasar kukum HPH yang katanya demi kesejahteraan rakyat dan kasus lainnya.

Beberapa kasus di atas – sangat sedikit dari yang sangat banyak – ini mau memberikan pelajaran kepada kita orang Papua Barat – termasuk saya – untuk sadar dan sadar. Memang kita akui sangat susah membangunn rumah yang terlanjur sudah dibongkar, memang sangat susah melepaskan “barang enak” yang sudah lama kita nikmati, tetapi kita usahan dengan sekuat tenaga untuk kembali “menjadi diri kita sendiri” seperti kata seorang pujangga Italia “Let’s back together to freedom nature”.

Dari semua kasus di atas ini memberikan gambaran kepada kita sekaligus kita menarik kesimpulan bahwa “Upaya Pembasmian Etnis” sudah sedang adan akan terjadi di Papua Barat dengan cara yang lazim disebut “main halus” oleh generasi sekarang. Pernahkah ada penyakit HIV/AIDS sejak dahulu d tanah Papua? Mabuk sampai teler hingga lupa segala-galanya adalah budaya Papua Barat? Rampas jabatan dan uang hingga “baku makan” adalah budaya Papua Barat? Saya tidak tahu jawaban saudara-saudari, tetapi saya pikir tidaklah demikian. Semua yang sudah, sedang dan akan terjadi adalah dalam upaya menghabiskan orang Papua Barat.

Kita lihat sekarang banyak lokalisasi WTS (paha putih/pramuria) bertebaran di mana-mana bahkan katanya sampai ke pelosok, contohnya adalah Tanjung Elmo/Sentani Kiri di Jayapura, Belok Kanan di Samabusa – Nabire dan di kampung-kampung di daerah Asmat serta daerah lainnya. Di sini kita dapat menilai bahwa semuanya ini adalah produk Indonesia yang didukung oleh para elit di Papua Barat (gubernur, bupati, camat dan lainya) serta di belakang layar adalah “militer” sebagai pengawal sekaligus “germo” yang tunggu hasilnya atas saham yang telah ditanamnya. Hasil dari adanya WTS (paha putih) di Papua Barat adalah penyakit HIV/AIDS bagi orang Papua Barat. Pokonya di sini kita sudah rugi berkali lipat. Kita kalau mau “main” WTS kita rugi uang, kita rugi waktu kerja, kita rugi tenaga dan yang paling repotnya lagi kita rugi nyawa karena “benih penyakit sudah masuk bersarang di dalam tubuh kita”, jadi kita tunggu saja kapan kita akan pulang ke rumah Bapa di Sorga atau rumah Lusiver di Neraka.

Konflik pro versus kontra pemekaran propinsi Irjateng adalah merupakan upaya terselubung pemerintah RI untuk menciptakan konflik horizontal di tanah Papua. Jika sampai konflik ini berkelanjutan, maka Jakarta “bertepuk tangan” Papua Barat “meratap”. Sebenarnya Papua Barat telah rugi dengan jatuhnya korban. Jangankan lima orang yang mati, putusnya ujung jari pun kita sudah rugi. Tetapi sangat aneh “Bapa-bapa” Papua. Mereka santai-santai saja, karena bagi mereka yang terpenting adalah jabatan dan uang. Dengan demikain, rupanya orang Papua Barat sedikit demi sedikit namun pasti siap “dimuseumkan” karena akan menjadi manusia langka di planet ini.

Transmigrasi sudah didrop ke Papua sejak dua dasawarsa yang lalu. Menurut beberapa informasi yang boleh dipercaya, menyebutkan bahwa para transmigrasi yang kini berada di tanah Papua Barat telah dipaksa oleh pemerintah Indonesia dari Jawa untuk pindah ke Papua Barat. Namun, hal ini benar atau tidak bukan soal yang begitu penting, yang terpenting adalah “ada apa di balik transmigrasi”. Ini upaya pelenyapan etnis Papua sekaligus merampok tanah adat sambil menggeser perekonomian masyarakat Papua Barat. Buktinya kita lihat sekarang, penjual buah-buahan dan sayuran di pasar adalah “Amber” (orang non Papua). Toko-toko bertingkat, rumah-rumah makan, mobil-mobil angkutan umum, hotel berbintang, tukang ojek dan lainnya adalah orang non Papua. Lalu orang Papua Barat mau jadi apa? Jawabannya satu dan pasti yaitu “penonton sejati” dan menangis di pangkuan ibu pertiwi hingga kembali ke perut ibu pertiwi tidak secara wajar dan manusiawi karena sedikit tapi pasti kita sedang dibunuh.

Eksploitasi sumber daya alam yang didukung oleh negara-negara Liberal dengan pengawalan militer dengan jargon politik “demi kemakmuran rakyat” merupakan juga sutu hal yang nyatanya masuk akal namun di balik layar merupakan penggeseran masyarakt lokal seakan-akan sambil berkata “go there West Papua people we like your land, but we don’t like yourssself because you are monkey”. Hal ini dapat kita cermati dalam cacatan sejarah kelabu selama ini. Peruhasaan pertambangan tembaga dan emas multinasional PT. Freeport Indonesia adalah bukti imtimidasi dan penggeseran orang Papua secara pasti. Kerusakan alam adalah hal biasa, masayarakat diusir dari perkampungannya adalah kebiasaan perusahaan raksasa ini yang setiap tahunnya di jaga oleh militer sebagai “tempat isi perut”. Hak ulayat adalah sesuatu hal yang perlu diperhatikan bahkan merupakan suatu keharusan, namun masyarakat pemilik hak ulayat diberikan haknnya hanya sebanyak 1% (satu persen). Dana inipun yang hasilnya dialihkan ke berbagai divisi (kesehatan, pendidikan, pemberdayaan masayarakat dan lainnya) tidak memberikan hasil yang siknifikan. Kita lihat para mahasiswa yang mendapat beasiswa PT.Freeport hampir setengahnya tidak dapat kuliah dengan baik, bahkan hasil yang diberikan yang katanya “gaji tanpa kerja” itu telah melahirkan mental-mental anak Papua Barat yang mengawatirkan. Dapat beasiswa mabuk teler, terima gaji bulanan tanpa kerja lupakan diri keliling kota – seakan-akan dunia ini ada di bawah telapak kakinya – hingga kuliah yang katanya tugas utama itu hanyalah wadah “menuntut hak beasiswa sebagai hak ulayat”. Hal ini tidak kita sadari tetapi hal ini juga produk Indonesia dan antek-anteknya. Beasiswa kita dapat dari dia, namun di luar sana dia sudah “pasang jurus” dengan menyediakan minuman keras sebagai tempat pelarian kita menikamati “air maut” itu. Memang Indonesia bangsa yang licik. Seakan-akan ini sebuah adegan yang asyik dimainkannya, betapa tidak uang dia kasih uang dia ambil. Lalu kita menjadi apa? Ya kalau bukan budak abadi apalagi.

PT.Freeport bukan satu-satunya, tetapi salah satu dari yang banyak “pencuri”. Hutan Papua Barat dibabat tanpa ada perasaan akan kerusakan hutan. Para aktor peduli lingkungan tidak dapat berkutik apa-apa, ketika berhadapan dengan militer sebagai “pengawal pencuri”. Bukankah budaya masyarakat Papua Barat adalah menjaga hutan sebagai tempat sacral yang harus dilestarikan? Tetapi ketika pengusaha hutan yang didukung oleh penguasa dengan memberikan HPH, maka tidak ada kata sacral yang harus dipedulikan. Yang jelas uang bung, kelestarian hutan urusan belakang mas itulah yang sedang dimainkan oleh Jakrta yang didukung oleh penguasa dan militer lokal. Hal ini menyebabkan masyarakat kehilangan tempat usaha (kebun dan meramu), kehilangan tempar berburu, tidak tersedia tempat mencari kayu bakar lagi, persediaan air bersih tidak ada. Masyarakat menuntut hak ulayat namun disikat dan dibabat habis. Kita lihat kasus “Wasior Berdarah”. Di sana masyarakat menuntut hak ulayat melalui lembaga adat, namun dijawab dengan dentuman senjata dan tendangan sepatu lars oleh militer Indonesia. Jadi kita jangan heran dengan kehadiran militer di tempat-tempat usaha dan berbagai tempat di Papua Barat karena memang “Indonesia adalah negeri yang dibangun di atas konstruksi militer”.

Kasus HIV/AIDS, kerusuhan-kerusuhan (contoh kerusuhan Timika), pendropan transmigrasi gila-gilaan, pejabat berhantam untuk jabatan dan uang, pemabuk bertebaran di mana-mana, eksploitasi sumber daya alam tanpa peduli hak ulayat, penguasaan perekonomian masyarakat lokal oleh orang non Papua dan menghasilkan mental anak muda Papua Barat yang malas adalah beberapa contoh kecil saja yang dibangun oleh Indonesia untuk membunuh orang Papua Barat secara perlahan namun pasti. Semuanya ini sedang dilakukan dengan cara “main halus” (terselubung), jadi jangan jika belakangan ini ada bebarapa pihak di Papua Barat dan dunia Internasional mengatakan Badan Intelijen Negara (BIN) sedang “main gila” di Papua Barat. BIN bermain dengan mesra dengan tujuan belakang layar “ko siap tiket suda untuk berangkat” mengikuti jejak orang tauamu dan saudaramu. Yang jelas Papua Barat sedang berjalan ke arah kuburan untuk menjadi “Pusara Tak Bernama” sesuai dengan lagu yang diciptakan oleh Sam Kapisa dan dinyanyikan oleh Group Band Black Sweet. Hati-hati ada lampu merah di sini, jangan gila duluh.

Sebuah Renungan

Siapa yang tidak bangga jika kita dipanggil “Orang Papua Barat”. Tentunya hal ini bisa disebabkan karena melihat “tanah” Papua Barat yang sering ibaratkan negeri “Surga Dunia”. Kita semua bangga dan lebih bangga lagi jika disebut anak negeri “Surga Dunia” Papua Barat. Burung berkicau memecah lamunan negeri di pagi cerah, tumbuhan melambaikan daunnya ditiup angin sepoi-sepoi, bukti emas dan gunung tembaga memancarkan cahaya kemegahannya diterpa cahaya mentari pagi, ikan di lautan bermain ombak dan gelombang pagi dalam keasyikannya yang tiada duanya, mentari bersinar cerah mengajak anak negeri untuk menikmati indahnya ibu pertiwi, hujan bertaburan di belantara negeri memberi minum isi negeri, anak-anak negeri berlari-lari girang menuju belantara mencari madu rimba, ibu-ibu duduk di perapian dengan senyumnya yang khas dan polos, tua-tua adat di rumah adat hanyut dalam tertawa akan enaknya hidup dan masa depan anak cucunya dan negeri Papua Barat berdiri dengan gagah dan mega menghiasi planet ini seakan-akan sambil berkata “lihatlah saya negeri penuh misteri Papua Barat”.

Memang bangga adalah bangga, senyum adalah senyum dan siapa yang tidak suka dengan hal ini. Tetapi ingat “Papua Barat Bukan Seperti Yang Duluh”. Duluh adalah duluh dan sekarang adalah sekarang kata orang. Negeri Papua Barat yang kita banggakan, kita cintai; orang Papua Barat yang bersorak ria dan tertawa lepas menghiasi panorama indah kini dalam prose perubahan. Kini ribuan mayat dan tulang-belulangan bertebaran secara liar, pusara-pusara tak bernama menghiasi negeri yang sedang dimusnahkan ini, rintihan dan ratapan tangis anak negeri bersahutan-sahutan tanpa henti, banyak ibu-ibu yang tak berdosa telah menjadi janda kehilangan suaminya, banyak anak-anak kecil menatap masa depan yang penuh suram, sungai-sungai bening mulai berubah warnah menjadi merah darah anak negeri, hutan dibabat, tanah diobrak-abrik mencari emas dan tembaga, lautan nan biru kini tercemar sampah sang penjajah dan lainnya, namun yang pasti Papua Barat dalam proses pemusnahan.

Apakah negeri “Penuh Misteri” ini tidak ada yang mendiaminya? Kepada siapa Tuhan menitipkan negeri “Jelmahan Surga” ini? Mengapa semua orang dengan tegah ingin memusnahkan “Negeri Cenderawasih” ini? Apakah tidak ada orang yang ingin membela dan membebaskan negeri “Dinosaurus Raksasa” yang sedang nengitari dunia ini? Ataukah semua anak negeri telah menjadi buta? Ataukah semua muda-mudi telah menjadi “bisu abadi”? Apakah para tulang punggung negeri harus tunduk diam membisu di bawah kelaliman dan kejahatan? Apakah orang Papua Barat – jika ada – takut mati jika berteriak membela rakyat yang polos dan papa ini? Apakah orang Papua Barat harus menjadi pengkhianat bangsa dan rakyat dengan menikmati “keenakan semu” yang diberikan oleh penjajah? Apakah orang Papua Barat ingin “dimuseumkan” karena menjadi makluk langkah dan sisa dalam sejarah kelabu manusia?

Kita harus menjadi diri kita sendiri seperti sering orang berkata “tiada kekayaan terbesar selain diri kita sendiri”. Papua adalah Papua. Marilah kita kembali menjadi diri kita sendiri. Tuhan itu adil, walau keadilan datang terlambat namun dia tidak akan hilang karena segalah-galahnya mempunyai masa dan waktunya. Ingat kata Om Moses Weror “gunung dikejar tak akan lari”. Orang tidak selamanya meratap dan menangis, suatu saat suka cita dan kebebasan akan datang. Namun, yang terpenting sekarang adalah marilah kita berasatu padu berjuang bersama dengan menjadi diri kita sendiri, tidak ada lagi kata orang pantai orang gunung, senior yunior, laki-laki perempuan, saya hebat kau bodoh. Siapapun dan bagaimanapun latarbelakang kita yang terpenting adalah kita masing adalah “modal” perjungan. Ingat dalam pribadi-pribadi yang berbeda kekayaan tiada duanya terpendam di sana. Marilah kita saling memberi dan menerima sebagai saudara sebangsa seperti dalam bahasa Biak ada istilah Fa Ido Ma, Ma Ido Fa (memberi jika menerima, menerima jika memberi) atau dalam istilah asing diidentikan dengan kata take and give.

Baiklah para pelajar jadilah pelajar yang baik dan jangan jadi pelajar karbitan dengan virus “mabuk teler”, para pejuang jadilah pejuang yang jujur dan teguh hati dan jangan jadi pejuang yang muka uang dan jabatan, para muda-mudi jangan “keenakan” dengan menghamburkan uang orang tua dengan mengukur jalan dan berpesta pora, para orang tua jadilah orang tua yang baik dan akhirnya marilah kita semua mengukir satu tekat dan ide tanpa mundur dan menyerah berjuang demi kebebasan tanah air kita Papua Barat. Ingat segalanya ada masa dan waktunya. Apakah Kemerdekaan Papua Barat ada waktunya? Tunggu saja tooo barang apa jadi, kitong pasti merdeka mooo.

Mengakhiri tulisan saya yang singkat dan simple, saya ingin mengajak para pembaca (siapa saja yang membaca) tulisan saya ini, marilah kita sama-sama dengan penuh keyakinan dan tekad yang bulat dan kokoh besama-sama berkata: “…hai tanahku Papua kau tanah lahirku, kau hendak kukasihi hingga ajalku…”.

Akhirnya kita harus ingat kembali kata Karl Popper. Ia berkata “Kebebasan masih lebih penting dari pada kebahagiaan. Kebahagiaan sangat berharga, namun kebebasan lebih berharga”.

PAPUA BARAT DALAM DEKAPAN SEJARAH KELABU

Selayang Pandang

Erangan kesakitan di tanah Papua Barat tidak pernah disuarakan oleh para korban yang paling menderita dan sengsara. Selama bertahun-tahun mereka terdiam membisu. Di mana pun hak asasi manusia tekah diinjak-injak secara kejam, di sanalah kebisuhan dan kepasifan merajalela tidak meninggalkan jejak dalam sejarah, karena sejarah hanya mencacat perkataan dan perbuatan mereka yang mampu meskipun hanya sekelumit mengatur nasib mereka sendiri, atau paling tidak mencoba berbuat demikian.

Masih sangat banyak dan kini pun demikian sedang terjadi pria, wanita, anak-anak dan orang dewasa yang sebagai akibat teror, kemiskinan, pembunuhan, kebohongan serta kejahatan lainnya telah dipaksa melupakan martabat yang sebetulnya tidak dapat dipisakan dari diri mereka, atau dibuat untuk melepaskan usaha-usaha untuk menjamin pengakuan terhadap martabat itu oleh yang lain. Mereka membisu. Kebanyakan korban yang mengeluh dam didengarkan suaranya adalah yang bernasib baik dan beruntung, sebab memang tidak mudah menegakkan Hak Asasi Manusia ketika dijadikan mainan anak-anak.

Setiap orang Papua Barat – termasuk saya – pasti sangat berbangga ketika semua pikiran, perasaan dan tindakan kita dikaitkan dengan tanah Papua Barat itu. Batapi tidak, sebab di negeri yang banyak mendadat julukan manis ini tersedia beragam fauna, flora dan mineral. Sungai-sungai mengalirkan emas dari perut bumi hingga ke permukaan bahkan sampai ke samudera lepas, lembah-lembah bertaburan minyak bumi, hutan menjadi indah – bahkan bisa dijuluki taman bidadari – karena indahnya pepohonan dan bunga semerbak harumnya, lautan dan danau menyimpan berbagai jenis binatang air dari yang pernah diketahui dalam sejarah hingga binatang yang masih misterius dan berbagai “sweet memory” lainnya yang akan kita bawah pulang ketika kita akan menutup hidup kita masing-masing sambil berkata “West Papua My Love”.

Kita semua tentu berbangga atas semuanya – saya juga senang – sebagai insan negeri belantara. Namun, pertanyaannya adalah : Apakah Papua Barat masih seperti yang duluh? Apakah burung masih berkicau memuji pencipta-Nya? Apakah anak negeri masih berlari ke sana-kemari sambil menikmati manisnya madu belantara? Apakah gadis-gadis manis bersiap-siap menanti mempelai laki-lakinya dengan status “gadis”? Ingat orang selalu berkata bahwa “Sebuah Renungan Menuntut Jawaban”. Kini kita dalam proses perenungan dan perjuangan – sambil menyelam minum air – demi “sesuatu” yang kita nantikan. Tapi satu hal penting yaitu “Papua Barat Bukan Seperti Yang Duluh”.

Tidak Luput Dari Kejahatan Negara

Kejahatan apa yang tidak pernah terjadi di Tanah Papua Barat? Semua orang baik yang sudah mati karena dibunuh, diculik, dibuang, dibakar, diperkosa, dianiaya, diasingkan dan dipenjarakan serta semua orang Papua Barat yang masih hidup sekarang di Papua, di rantauan, di hutan dan di pengasingan bahkan yang akan lahir dalam waktu-waktu mendatang, dengan sepakat dan tegas mengatakan bahwa “Semua Kejahatan Kemanusiaan Pernah, Sedang dan Akan Terjadi di Papua Barat” ketika bangsa Indonesia – yang katanya bangsa beradab – ini masih berkuasa di Papua Barat.

Kata orang sejarah adalah guru yang baik, maka rakyat Papua Barat sudah punya cukup bukti dalam sejarah bahwa “Indonesia pernah, sedang dan akan menerapkan semua bentuk kejahatan di Tanah Papua Barat”. Sejarah telah mencatat bahwa ketika bangsa Indonesia berada di Papua Barat dia bukan lagi “bangsa beradab” tetapi dia adalah “bangsa biadab”. Titik !! Segalah bentuk kejahatan telah dia (Indonesia) lalukan di Papua Barat, mulai dari kejahatan yang halus (main halus) hingga kejahatan yang kasar/keras (main kasar). Dalam melakukan semuanya ini dia selalu berada dalam posisi yang benar, seakan-akan tidak ada kata “haram” dalam lembaran kamus penyelengggaraan Negara yang dia “agung-agungkan” sebagai Negara hukum dan demoktrat ini.

Ketika kita – orang Papua Barat sejati dan para aktor peduli HAM – menggungkit-ungkit masalah kejahatam Negara Indonesia di Papua Barat, maka bukan suatu keanehan jika ratapan tangis menghiasi panorama hidup ini. Hal ini disebabkan karena di depan pandangan kita ribuan tengkorak manusia bertebaran, ratusan gadis meratap hilangnya keperawanan di tangan militer, ibu-ubu telah menjadi janda kehilangan suami buah hatinya, anak-anak terjatuh memikul batu kilangan sang diktator, sungai-sungai bening yang membela kesunyian negeri telah berubah mengalirkan darah ibu kandung, kilauan-kilauan emas di bukit-bukit tidak memancarkan cahanya seakan kemegahaannya telah pudar di telan bumi dan burung-burung elok di hutan belantara berhenti bernyanyi seakan-akan negeri ini tidak berpenghuni. Jika demikian apa yang tersisa dan menjadi kenangan atau bingkisan kita akan anak cucu kita nanti? Kalau bukan “luka hati” apalagi.

Dalam Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan (Declaration of Basic Principles of Justive for Victim of Crime and Abuse of Power) paragraph 1 dan 2 menjelasakan arti kata “korban kejahatan” kemanusiaan. Bunyinya demikian “Korban bebarti orang yang seara perorangan atau kelompok menderita kerugiaan, termasuk secara fisik atau mental, penderitaan emosional, kerugiaan ekonomi atau perampasan nyata terhadap hak dasar mereka” selanjutnya berbunyi demikian “…istilah korban juga termasuk – sejauh dipandang tepat – keluarga langsung atau orang yang secar langsung berada di bawah tanggungan para korban dan orang-orang yang telah mengalami penderitaan dalam membantu para korban yang sengsara atau dalam mencegah orang-orang agar tidak menjadi korban…”.

Melihat definisi kata korban kejahatan di atas ini, maka dalam kasus Papua Barat orang yang menjadi korban adalah semua orang Papua Barat tanpa kecuali dan orang luar Papua Barat yang selama ini sangat peduli dengan kejahatan di Papua Barat. Orang-orang Papua Barat yang sudah, sedang dan akan berpesta pora, yang tersenyum dengan uang darah, para pelajar/mahasiswa yang sedang keenakan dengan jerih paya orang tua – termasuk saya – di pulau Jawa dan daerah lain, para pengungsi di negeri asing, para pejuang sejati di rimba raya, para pembelah hak-hak dasar orang Papua Barat dan kita semuannya adalah “Korban” kejahatan Negara Indonesia. Jadi kesimpulannya jangan kita mengartikan kata korban secara sempit dan radikal, hal ini sangat penting karea selama ini di benak hati kecil kita dan dalam rekaman otak, kita selalu berpikir dan berkata bahwa yang menjadi korban kejahatan Indonesia adalah mereka yang dibunuh, diperkosa, diteror, diintimidasi, dipenjarakan dan tindakan lainnya yang pada hakekatnya menghancurkan hak dasar manusia. Padahal saya, ko, dia, dorang dan kitong semua adalah korban nihhh..

Jenis-Jenis Kejahatan

Terdapat tiga kata yang sangat sulit diungkapkan oleh bangsa-negara Indonesia kepada seluruh rakyat Papua Barat hingga kini yaitu kata “Kami Telah Bersalah”. Hal ini kita harus akui bersama sebab kenyataan tidak akan dibungkam oleh kekuatan apapun dan dengan cara apapun. Namun, di balik semunya ini rintihan penderitaan rakyat Papua Barat seakan-akan menjadi semangat baru dalam mengulangi kejahatannya lagi dengan kekuatan militer yang dibekking oleh Negara. Jika atas nama Negara maka semuanya adalah halal.

Kejahatan Kasar (Keras)
Bukan suatu hal baru dan keanehan – jangan heran – jika orang sekarang mengatakan banhwa jumlah korban yang mati dibunuh oleh Indonesia sejak Papua Barat “dicuri” (aneksasi) hingga saat ini berjumlah 100 ribu orang menurut Amnesti Internasional dan menurut sumber lain berjumlah 600 ribu orang. Secara pribadi saya selalu berpendapat bahwa banyaknya orang Papua Barat yang dibunuh menjadi mangsa Indonesia adalah lebih dari 100 ribu atau 600 ribu orang. Mengapa? Kemungkinan besar bahkan memang benar bahwa orang Papua Barat yang dibunuh adalah lebih dari 100 ribu atau 600 ribu orang karena jumlah ini merupakan jumlah yang pernah dihitung karena memang ketahuan atau yang pernah didatakan. Tetapi kita jangan salah pikir bahwa selain yang berhasil dihitung, terdapat juga ratusan bahkan ribuan orang Papua Barat yang diculik, dibunuh dan di buang ke sungai, laut, jurang, hutan, lembah, dibakar hingga dikubur tanpa bekas yang belum kita ketahui. Jika tanah Papua Barat bisa bersuara dia akan bersaksi “di sinilah anakku dikubur atau dibuang”. Jadi yang jelas korban pembunuhan di Papua Barat hingga kini lebih dari 100 ribu atau 600 ribu orang.

Secara periodic sesungguhnya pemnbunuhan di Papua Barat sudah terjadi sejak lama, namun saat itu militer adalah “yang terhormat” sehingga tidak ada orang yang peduli dengan pembunuhan. Pembunuhan rakyat Papua Barat dilatar belakangi oleh adanya anggapan Indonesia akan “separatisme” secara nyata. Separatisme adalah alasan demi meng-legal-kan pembunuhan dan pembasmian, padahal sesungguhnya di balik alasan “separatisme” masih terkandung maksud dan bahkan “tujuan” Negara yang sesungguhnya yaitu “Upaya Pembasmian Etnis Papua Barat”. Mengapa hal ini bisa terjadi? Ingat satu hal yaitu orang Indonesia mencuri Indonesia bukan karena manusianya tapi karena tanahnya (kekayaannya).

Menguraikan semua pembunuhan di Papua Barat oleh Indonesia – bangsa biadab – sangatlah tidak cukup dalam tulisan singkat ini karena jumlahnya yang sangat banyak. Yang jelasnya bahwa ketika rakyat sipil Papua Barat dicap “kaum separatis”, maka di sanalah dentuman senjata silih berganti mencabut nyawa manusia kesayangan pencipta-Nya. Sekujur tubuh manusia tak berdosa itu berlumuran darah, tak satupun bagian tubuhnya luput dari tendangan sepatu lars dan hantaman pantat senjata. Bukanlah hal yang asing bagi rakyat Papua Barat ketika gadis-gadis diperkosa secara bergantian oleh beberapa anggota militer di tempat operasi (OPP=Operasi Gadis Papua), yang belakangan diketahui gadis-gadis itu mangandung dan melahirkan anak haram “Sang Amber”. Para kepala suku dipukul, dianiaya bahkan jantungnya dicopot lalu dipanggang seperti sate kemudian diberikan kepada keluarga dan masyarakatnya untuk dimakan. Jangan heran ketika sering terjadi sebuah pasangan suami-istri di bawah ke tengah lapangan dan disuruh berhubungan badan di depan seluruh warga kampung, bukan itu saja selajutnya jika melawan atau tidak melawan tentara akan memotong alat kemaluan suami lalu diberikan kepada istrinya untuk dimakan dan sebaliknya alat kemaluan istri dipotong untuk diberi makan kepada suaminya. Sejarah juga pernah mencatat ketika orang Papua Barat dibunuh, darahnya diberikan kepada orang yang menyaksikan pembunuhan itu untuk diminum. Bukan hanya itu saja, sudah menjadi kebiasan militer Indonesia memanaskan besi lalu dimasukan ke dalam dubur seseorang hingga tembus ke kepala. Pernah juga terjadi sungai Baliem di Wamena airnya berubah warna menjadi merah oleh darah manusia, pada saat itu selama dua minggu rakyat tidak minum air dan mencari ikan. Yang jelasnya rakyat Papua Barat tidak pernah luput dari siksaan fisik di tubuh mereka hingga kematiannnya.

Selain siksaan yang langsung dirasakan pada diri (tubuh) mereka, juga terdapat pelanggaran HAM dalam bentuk lainnya secara terang-terangan oleh Indonesia. Pembakaran kampung di daerah operasi adalah suatu hal biasa. Kita lihat kasus yang mengegerkan dunia “Operasi Mapenduma”. Dalam operasi ini terjadi pembakaran kampung secara “gila-gilaan”. Beratus rumah penduduk lenyap ditelan api si jago merah, gereja-gereja tidak luput dari “gilanya” militer Indonesia, rumah sakit dan sekolah luluh berantakan. Tidak ada kata lain bagi para penduduk selain kata “lari ke hutan”. Di hutan apa yang terjadi? Di hutan para pengungsi si sambut hangat oleh “ratapan dan kertakan gigi”. Di hutan inilah sebagian besar dari penduduk yang mengungi di tanah airnya sendiri ini mati secara beramai-ramai, mereka diserang wabah penyakit dan kelaparan yang tiada hentinya. Di sini mereka tidak berbuat apa-apa, jika berani keluar dan berani menampakkan batang hidung, maka dentuman “mesin pembasmi manusia” telah siap-siaga menjemput mereka dengan bunyi “dumm” artinya “selamat jalan manusia kera”. Hal semacam ini bukan hanya terjadi dalam “peristiwa Mapenduma” tetapi sudah biasa terajadi di daerah Papua Barat lainnya. Yang jelas “kampung hangus”, rakyat lari ke hutan dan mati di sana, hutan Papua Barat adalah saksi yang akan membisu selamanya.

Belum puas sampai di sini militer Indonesia melakukan pencurian secara membabi buta. Di daearah operasi kebun-kebun rakyat adalah tempat mencari nafkah “perampok kelas kakap”. Hasil kebun dicuri tanpa sisa, bahkan ampasnyapun dijilat. Inilah karakter bangsa-negara Indonesia yang rakus – jangan heran jika korupsi merajalela dewasa ini – sebab benih-benih perampokan sudah tertaman dari dalam dirinya sajak dahuluh kala. Bukan hanya hasil kebun, hewan peliharapun menjadi target pencurian militer Indonesia. Para militer yang muslim – mungkin katanya taat agama – tetapi ketika dihadapkan pada hewan peliharaan (babi) yang katanya haram, ketaatan akan agamanya hilang dalam kerakusan sehingga daging babipun dilahapnya dengan rakus. Ini berarti tiada militer yang taat agama di negeri Indonesia ini, mereka rupanya para pemeluk agama karbitan (maaf jika ada pembaca muslim yang tersinggung).

Uraian singkat di atas ini hanya sangat sedikit dari yang sangat banyak yang dikemukakan. Namun, yang menjadi catatan penting yaitu selain uraian pelanggaran HAM secara kasar (nyata) ini masih ada cara kasar (terang-terangan) lainnya seperti teror, intimidasi, pengejaran, penganiayaan, pemenjarahan dan kejahatannya lainnya yang mengakibatkan “Papua Barat selalu berduka”.

Kejahatan Halus (Terselubung)
Belakangan ini kita dikagetkan dengan beberapa kasus di Papua Barat. Data terakhir dari ASA (Aksi Stop Aids) Jakarta dan Dinas Kesehatan Papua menyebutkan banhwa sudah terdapa 1263 kasus HIV/AIDS di Papua Barat. Kita juga kaget dengan “Kerusuhan Timika” dalam pro versus kontra pemekaran propinsi Irian Jaya Tengah yang menelan korban jiwa. Kita juga sering mendengar KKN sedang meraja lelah di Papua Barat. Para pilitisi ribut setiap hari untuk jabatan dan uang. Tempat-tempat hiburan seperti bar dan diskotik bertaburan di tengah kota bagai jamur di musim hujan, orang Papua Barat mabuk tanpa sadar hingga sering dapat pukul bahkan mati dihajar massa. Pasar-pasar di kota hinga ke pelosok tanah Papua Barat dikuasai oleh para pendatang non Papua sehingga orang Papua Barat menjadi pembeli sejati. Para pendidik di bangku pendidikan mengajar anak didiknya dengan materi pelajaran produk Jawa (contoh : Budi makan nasi, bukan Rumbewas makan sagu). Gunung-gunung menjadi gundul akibat penebangan liar dengan dasar kukum HPH yang katanya demi kesejahteraan rakyat dan kasus lainnya.

Beberapa kasus di atas – sangat sedikit dari yang sangat banyak – ini mau memberikan pelajaran kepada kita orang Papua Barat – termasuk saya – untuk sadar dan sadar. Memang kita akui sangat susah membangunn rumah yang terlanjur sudah dibongkar, memang sangat susah melepaskan “barang enak” yang sudah lama kita nikmati, tetapi kita usahan dengan sekuat tenaga untuk kembali “menjadi diri kita sendiri” seperti kata seorang pujangga Italia “Let’s back together to freedom nature”.

Dari semua kasus di atas ini memberikan gambaran kepada kita sekaligus kita menarik kesimpulan bahwa “Upaya Pembasmian Etnis” sudah sedang adan akan terjadi di Papua Barat dengan cara yang lazim disebut “main halus” oleh generasi sekarang. Pernahkah ada penyakit HIV/AIDS sejak dahulu d tanah Papua? Mabuk sampai teler hingga lupa segala-galanya adalah budaya Papua Barat? Rampas jabatan dan uang hingga “baku makan” adalah budaya Papua Barat? Saya tidak tahu jawaban saudara-saudari, tetapi saya pikir tidaklah demikian. Semua yang sudah, sedang dan akan terjadi adalah dalam upaya menghabiskan orang Papua Barat.

Kita lihat sekarang banyak lokalisasi WTS (paha putih/pramuria) bertebaran di mana-mana bahkan katanya sampai ke pelosok, contohnya adalah Tanjung Elmo/Sentani Kiri di Jayapura, Belok Kanan di Samabusa – Nabire dan di kampung-kampung di daerah Asmat serta daerah lainnya. Di sini kita dapat menilai bahwa semuanya ini adalah produk Indonesia yang didukung oleh para elit di Papua Barat (gubernur, bupati, camat dan lainya) serta di belakang layar adalah “militer” sebagai pengawal sekaligus “germo” yang tunggu hasilnya atas saham yang telah ditanamnya. Hasil dari adanya WTS (paha putih) di Papua Barat adalah penyakit HIV/AIDS bagi orang Papua Barat. Pokonya di sini kita sudah rugi berkali lipat. Kita kalau mau “main” WTS kita rugi uang, kita rugi waktu kerja, kita rugi tenaga dan yang paling repotnya lagi kita rugi nyawa karena “benih penyakit sudah masuk bersarang di dalam tubuh kita”, jadi kita tunggu saja kapan kita akan pulang ke rumah Bapa di Sorga atau rumah Lusiver di Neraka.

Konflik pro versus kontra pemekaran propinsi Irjateng adalah merupakan upaya terselubung pemerintah RI untuk menciptakan konflik horizontal di tanah Papua. Jika sampai konflik ini berkelanjutan, maka Jakarta “bertepuk tangan” Papua Barat “meratap”. Sebenarnya Papua Barat telah rugi dengan jatuhnya korban. Jangankan lima orang yang mati, putusnya ujung jari pun kita sudah rugi. Tetapi sangat aneh “Bapa-bapa” Papua. Mereka santai-santai saja, karena bagi mereka yang terpenting adalah jabatan dan uang. Dengan demikain, rupanya orang Papua Barat sedikit demi sedikit namun pasti siap “dimuseumkan” karena akan menjadi manusia langka di planet ini.

Transmigrasi sudah didrop ke Papua sejak dua dasawarsa yang lalu. Menurut beberapa informasi yang boleh dipercaya, menyebutkan bahwa para transmigrasi yang kini berada di tanah Papua Barat telah dipaksa oleh pemerintah Indonesia dari Jawa untuk pindah ke Papua Barat. Namun, hal ini benar atau tidak bukan soal yang begitu penting, yang terpenting adalah “ada apa di balik transmigrasi”. Ini upaya pelenyapan etnis Papua sekaligus merampok tanah adat sambil menggeser perekonomian masyarakat Papua Barat. Buktinya kita lihat sekarang, penjual buah-buahan dan sayuran di pasar adalah “Amber” (orang non Papua). Toko-toko bertingkat, rumah-rumah makan, mobil-mobil angkutan umum, hotel berbintang, tukang ojek dan lainnya adalah orang non Papua. Lalu orang Papua Barat mau jadi apa? Jawabannya satu dan pasti yaitu “penonton sejati” dan menangis di pangkuan ibu pertiwi hingga kembali ke perut ibu pertiwi tidak secara wajar dan manusiawi karena sedikit tapi pasti kita sedang dibunuh.

Eksploitasi sumber daya alam yang didukung oleh negara-negara Liberal dengan pengawalan militer dengan jargon politik “demi kemakmuran rakyat” merupakan juga sutu hal yang nyatanya masuk akal namun di balik layar merupakan penggeseran masyarakt lokal seakan-akan sambil berkata “go there West Papua people we like your land, but we don’t like yourssself because you are monkey”. Hal ini dapat kita cermati dalam cacatan sejarah kelabu selama ini. Peruhasaan pertambangan tembaga dan emas multinasional PT. Freeport Indonesia adalah bukti imtimidasi dan penggeseran orang Papua secara pasti. Kerusakan alam adalah hal biasa, masayarakat diusir dari perkampungannya adalah kebiasaan perusahaan raksasa ini yang setiap tahunnya di jaga oleh militer sebagai “tempat isi perut”. Hak ulayat adalah sesuatu hal yang perlu diperhatikan bahkan merupakan suatu keharusan, namun masyarakat pemilik hak ulayat diberikan haknnya hanya sebanyak 1% (satu persen). Dana inipun yang hasilnya dialihkan ke berbagai divisi (kesehatan, pendidikan, pemberdayaan masayarakat dan lainnya) tidak memberikan hasil yang siknifikan. Kita lihat para mahasiswa yang mendapat beasiswa PT.Freeport hampir setengahnya tidak dapat kuliah dengan baik, bahkan hasil yang diberikan yang katanya “gaji tanpa kerja” itu telah melahirkan mental-mental anak Papua Barat yang mengawatirkan. Dapat beasiswa mabuk teler, terima gaji bulanan tanpa kerja lupakan diri keliling kota – seakan-akan dunia ini ada di bawah telapak kakinya – hingga kuliah yang katanya tugas utama itu hanyalah wadah “menuntut hak beasiswa sebagai hak ulayat”. Hal ini tidak kita sadari tetapi hal ini juga produk Indonesia dan antek-anteknya. Beasiswa kita dapat dari dia, namun di luar sana dia sudah “pasang jurus” dengan menyediakan minuman keras sebagai tempat pelarian kita menikamati “air maut” itu. Memang Indonesia bangsa yang licik. Seakan-akan ini sebuah adegan yang asyik dimainkannya, betapa tidak uang dia kasih uang dia ambil. Lalu kita menjadi apa? Ya kalau bukan budak abadi apalagi.

PT.Freeport bukan satu-satunya, tetapi salah satu dari yang banyak “pencuri”. Hutan Papua Barat dibabat tanpa ada perasaan akan kerusakan hutan. Para aktor peduli lingkungan tidak dapat berkutik apa-apa, ketika berhadapan dengan militer sebagai “pengawal pencuri”. Bukankah budaya masyarakat Papua Barat adalah menjaga hutan sebagai tempat sacral yang harus dilestarikan? Tetapi ketika pengusaha hutan yang didukung oleh penguasa dengan memberikan HPH, maka tidak ada kata sacral yang harus dipedulikan. Yang jelas uang bung, kelestarian hutan urusan belakang mas itulah yang sedang dimainkan oleh Jakrta yang didukung oleh penguasa dan militer lokal. Hal ini menyebabkan masyarakat kehilangan tempat usaha (kebun dan meramu), kehilangan tempar berburu, tidak tersedia tempat mencari kayu bakar lagi, persediaan air bersih tidak ada. Masyarakat menuntut hak ulayat namun disikat dan dibabat habis. Kita lihat kasus “Wasior Berdarah”. Di sana masyarakat menuntut hak ulayat melalui lembaga adat, namun dijawab dengan dentuman senjata dan tendangan sepatu lars oleh militer Indonesia. Jadi kita jangan heran dengan kehadiran militer di tempat-tempat usaha dan berbagai tempat di Papua Barat karena memang “Indonesia adalah negeri yang dibangun di atas konstruksi militer”.

Kasus HIV/AIDS, kerusuhan-kerusuhan (contoh kerusuhan Timika), pendropan transmigrasi gila-gilaan, pejabat berhantam untuk jabatan dan uang, pemabuk bertebaran di mana-mana, eksploitasi sumber daya alam tanpa peduli hak ulayat, penguasaan perekonomian masyarakat lokal oleh orang non Papua dan menghasilkan mental anak muda Papua Barat yang malas adalah beberapa contoh kecil saja yang dibangun oleh Indonesia untuk membunuh orang Papua Barat secara perlahan namun pasti. Semuanya ini sedang dilakukan dengan cara “main halus” (terselubung), jadi jangan jika belakangan ini ada bebarapa pihak di Papua Barat dan dunia Internasional mengatakan Badan Intelijen Negara (BIN) sedang “main gila” di Papua Barat. BIN bermain dengan mesra dengan tujuan belakang layar “ko siap tiket suda untuk berangkat” mengikuti jejak orang tauamu dan saudaramu. Yang jelas Papua Barat sedang berjalan ke arah kuburan untuk menjadi “Pusara Tak Bernama” sesuai dengan lagu yang diciptakan oleh Sam Kapisa dan dinyanyikan oleh Group Band Black Sweet. Hati-hati ada lampu merah di sini, jangan gila duluh.

Sebuah Renungan

Siapa yang tidak bangga jika kita dipanggil “Orang Papua Barat”. Tentunya hal ini bisa disebabkan karena melihat “tanah” Papua Barat yang sering ibaratkan negeri “Surga Dunia”. Kita semua bangga dan lebih bangga lagi jika disebut anak negeri “Surga Dunia” Papua Barat. Burung berkicau memecah lamunan negeri di pagi cerah, tumbuhan melambaikan daunnya ditiup angin sepoi-sepoi, bukti emas dan gunung tembaga memancarkan cahaya kemegahannya diterpa cahaya mentari pagi, ikan di lautan bermain ombak dan gelombang pagi dalam keasyikannya yang tiada duanya, mentari bersinar cerah mengajak anak negeri untuk menikmati indahnya ibu pertiwi, hujan bertaburan di belantara negeri memberi minum isi negeri, anak-anak negeri berlari-lari girang menuju belantara mencari madu rimba, ibu-ibu duduk di perapian dengan senyumnya yang khas dan polos, tua-tua adat di rumah adat hanyut dalam tertawa akan enaknya hidup dan masa depan anak cucunya dan negeri Papua Barat berdiri dengan gagah dan mega menghiasi planet ini seakan-akan sambil berkata “lihatlah saya negeri penuh misteri Papua Barat”.

Memang bangga adalah bangga, senyum adalah senyum dan siapa yang tidak suka dengan hal ini. Tetapi ingat “Papua Barat Bukan Seperti Yang Duluh”. Duluh adalah duluh dan sekarang adalah sekarang kata orang. Negeri Papua Barat yang kita banggakan, kita cintai; orang Papua Barat yang bersorak ria dan tertawa lepas menghiasi panorama indah kini dalam prose perubahan. Kini ribuan mayat dan tulang-belulangan bertebaran secara liar, pusara-pusara tak bernama menghiasi negeri yang sedang dimusnahkan ini, rintihan dan ratapan tangis anak negeri bersahutan-sahutan tanpa henti, banyak ibu-ibu yang tak berdosa telah menjadi janda kehilangan suaminya, banyak anak-anak kecil menatap masa depan yang penuh suram, sungai-sungai bening mulai berubah warnah menjadi merah darah anak negeri, hutan dibabat, tanah diobrak-abrik mencari emas dan tembaga, lautan nan biru kini tercemar sampah sang penjajah dan lainnya, namun yang pasti Papua Barat dalam proses pemusnahan.

Apakah negeri “Penuh Misteri” ini tidak ada yang mendiaminya? Kepada siapa Tuhan menitipkan negeri “Jelmahan Surga” ini? Mengapa semua orang dengan tegah ingin memusnahkan “Negeri Cenderawasih” ini? Apakah tidak ada orang yang ingin membela dan membebaskan negeri “Dinosaurus Raksasa” yang sedang nengitari dunia ini? Ataukah semua anak negeri telah menjadi buta? Ataukah semua muda-mudi telah menjadi “bisu abadi”? Apakah para tulang punggung negeri harus tunduk diam membisu di bawah kelaliman dan kejahatan? Apakah orang Papua Barat – jika ada – takut mati jika berteriak membela rakyat yang polos dan papa ini? Apakah orang Papua Barat harus menjadi pengkhianat bangsa dan rakyat dengan menikmati “keenakan semu” yang diberikan oleh penjajah? Apakah orang Papua Barat ingin “dimuseumkan” karena menjadi makluk langkah dan sisa dalam sejarah kelabu manusia?

Kita harus menjadi diri kita sendiri seperti sering orang berkata “tiada kekayaan terbesar selain diri kita sendiri”. Papua adalah Papua. Marilah kita kembali menjadi diri kita sendiri. Tuhan itu adil, walau keadilan datang terlambat namun dia tidak akan hilang karena segalah-galahnya mempunyai masa dan waktunya. Ingat kata Om Moses Weror “gunung dikejar tak akan lari”. Orang tidak selamanya meratap dan menangis, suatu saat suka cita dan kebebasan akan datang. Namun, yang terpenting sekarang adalah marilah kita berasatu padu berjuang bersama dengan menjadi diri kita sendiri, tidak ada lagi kata orang pantai orang gunung, senior yunior, laki-laki perempuan, saya hebat kau bodoh. Siapapun dan bagaimanapun latarbelakang kita yang terpenting adalah kita masing adalah “modal” perjungan. Ingat dalam pribadi-pribadi yang berbeda kekayaan tiada duanya terpendam di sana. Marilah kita saling memberi dan menerima sebagai saudara sebangsa seperti dalam bahasa Biak ada istilah Fa Ido Ma, Ma Ido Fa (memberi jika menerima, menerima jika memberi) atau dalam istilah asing diidentikan dengan kata take and give.

Baiklah para pelajar jadilah pelajar yang baik dan jangan jadi pelajar karbitan dengan virus “mabuk teler”, para pejuang jadilah pejuang yang jujur dan teguh hati dan jangan jadi pejuang yang muka uang dan jabatan, para muda-mudi jangan “keenakan” dengan menghamburkan uang orang tua dengan mengukur jalan dan berpesta pora, para orang tua jadilah orang tua yang baik dan akhirnya marilah kita semua mengukir satu tekat dan ide tanpa mundur dan menyerah berjuang demi kebebasan tanah air kita Papua Barat. Ingat segalanya ada masa dan waktunya. Apakah Kemerdekaan Papua Barat ada waktunya? Tunggu saja tooo barang apa jadi, kitong pasti merdeka mooo.

Mengakhiri tulisan saya yang singkat dan simple, saya ingin mengajak para pembaca (siapa saja yang membaca) tulisan saya ini, marilah kita sama-sama dengan penuh keyakinan dan tekad yang bulat dan kokoh besama-sama berkata: “…hai tanahku Papua kau tanah lahirku, kau hendak kukasihi hingga ajalku…”.

Akhirnya kita harus ingat kembali kata Karl Popper. Ia berkata “Kebebasan masih lebih penting dari pada kebahagiaan. Kebahagiaan sangat berharga, namun kebebasan lebih berharga”.